Seiring bertambahnya waktu mereka akan menganggap bahwa pemerintah adalah thougut. Ini sering kita jumpai pada mahasiswa yang sudah terpapar radikalisme tinggi. Beberapa dari mereka bahkan kita tahu sudah menyerang aparat.Â
Kasus pemuda yang menyerang pos polisi Kartasura dengan bom rakitan namun gagal beberapa tahun lalu adalah salahsatu contohnya. Setelah ditangkap, dia mengaku bahwa alasan dia menyerang aparat karena polisi dianggap dia sebagai thougut dan harus dilawan. Referensi itu dia dapatkan selain dari sekolah juga dari media.
Dari kasus ini kita bisa belajar bahwa intoleransi dan radikalisme pada anak, bisa terjadi di lingkungan yang terkedat dengan sang anak yaitu rumah dan ekosistemnya dan sekolah. Sekolah bisa menjadi perpanjangan tangan dari intoleransi jika para guru mengajarkan soal intoleransi kepada para muridnya.Â
Tidak ada penghormatan kepada negara, pengajaran bahwa keyakinan mereka adalah satu-satunya yang benar dan lain sebagainya. Ini semua akan  membuat eksklusifitas akan lebih terasa dari sekolah.
Begitu juga di rumah di mana orangtua sebenarnya punya peran yang sangat penting untuk mengajarkan toleransi dengan yang lain.Â
Ortu harus peka dan rajin melihat buku-buku apa yang dibaca oleh anak-anak mereka. Juga isi acara televisi, isi media sosial dan relasi sosial mereka. Begitu juga lirik-lirik lagu dan cerita kepahlawanan apa yang disukai anak.
Karena tanpa disadari, sebenarnya melalui hal-hal itu, rasa merasa bahwa diri mereka eksklusif, merasa benar sendiri, tidak toleran dengan sekitar, diperoleh dari cara-cara itu. Sehingga diharapkan setiap orang tua (orang dewasa) juga turut peduli dengan informasi yang dikonsumsi anak.Â
Dengan begitu kita (keluarga) dapat menempatkan peran diri dengan baik tanpa menaruhnya secara salah .