Mohon tunggu...
yona listiana
yona listiana Mohon Tunggu... Desainer - penjahit

suka mancing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Eksklusivitas yang Salah

20 Juli 2022   16:39 Diperbarui: 20 Juli 2022   16:41 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama dua decade ini kita mendapati fenomena yang luar biasa pada Indonesia. Kita kini berada pada masa keterbukaan dan kemajuan teknologi yang membantu kehidupan di Indonesia sangat dipermudah sedemikian rupa.

 Kita juga dipermudah dengan pergantian era dimana masa Orde Baru yang penuh dengan soal represif dan kini menikmati era reformasi yang penuh kebebasan.

Dunia Pendidikan juga mengalami kemajuan yang luar biasa. Kurikulum sudah berubah dan prespektif Pendidikan juga berubah. Guru dan anak didik diberi kebebasan untuk mengekspresikan kreativitasnya. 

Dengan demikian diharapkan dunia Pendidikan dapat mencetak generasi masa depan yang kuat dan cemerlang.

Hanya saja ada hal yang kurang diinginkan ternyata mengintip dunia Pendidikan kita yaitu faham-faham transnasional. 

Faham-faham itu bisa berupa pengaruh politik beberapa negara di Timur tengah mislanya Mesir, atau juga salafi sampai wahabi yang membonceng beberapa organisasi massa agama yang moderat sehingga konteks mereka bergeser.

Akibatnya beberapa sekolah berbasis agama yang terkenal di Indonesia punya kecenderungan mengajarkan faham itu. 

Faham itu umumnya bertone eksklusifitas dimana diri dan ajaran yang dikuasainyalah yang paling benar. Ini terjadi karena sekolah dan keluarga secara sengaja dan tidak sengaja membatasi pergaulan, interaksi dan aktivitas bermain sang anak. 

Mereka hanya bertemu dengan orang satu golongan (keyakinan), minimnya teman yang berbeda suku dll alias eksklusif.

Hal yang juga sering dilakukan oleh dunia Pendidikan adalah, karena homogenitas di sekolah dan tafsir agama yang salah sehingga merasa kelompok / golongan mereka sendiri yangpaling benar dan kelompok lain salah. Jika ini terus menerus dipupuk di sekolah maka tidak heran jika si anak akan menjadi pembenci tatanan atau pihak lain dalam pemerintahan.

Seiring bertambahnya waktu mereka akan menganggap bahwa pemerintah adalah thougut. Ini sering kita jumpai pada mahasiswa yang sudah terpapar radikalisme tinggi. Beberapa dari mereka bahkan kita tahu sudah menyerang aparat. 

Kasus pemuda yang menyerang pos polisi Kartasura dengan bom rakitan namun gagal beberapa tahun lalu adalah salahsatu contohnya. Setelah ditangkap, dia mengaku bahwa alasan dia menyerang aparat karena polisi dianggap dia sebagai thougut dan harus dilawan. Referensi itu dia dapatkan selain dari sekolah juga dari media.

Dari kasus ini kita bisa belajar bahwa intoleransi dan radikalisme pada anak, bisa terjadi di lingkungan yang terkedat dengan sang anak yaitu rumah dan ekosistemnya dan sekolah. Sekolah bisa menjadi perpanjangan tangan dari intoleransi jika para guru mengajarkan soal intoleransi kepada para muridnya. 

Tidak ada penghormatan kepada negara, pengajaran bahwa keyakinan mereka adalah satu-satunya yang benar dan lain sebagainya. Ini semua akan  membuat eksklusifitas akan lebih terasa dari sekolah.

Begitu juga di rumah di mana orangtua sebenarnya punya peran yang sangat penting untuk mengajarkan toleransi dengan yang lain. 

Ortu harus peka dan rajin melihat buku-buku apa yang dibaca oleh anak-anak mereka. Juga isi acara televisi, isi media sosial dan relasi sosial mereka. Begitu juga lirik-lirik lagu dan cerita kepahlawanan apa yang disukai anak.

Karena tanpa disadari, sebenarnya melalui hal-hal itu, rasa merasa bahwa diri mereka eksklusif, merasa benar sendiri, tidak toleran dengan sekitar, diperoleh dari cara-cara itu. Sehingga diharapkan setiap orang tua (orang dewasa) juga turut peduli dengan informasi yang dikonsumsi anak. 

Dengan begitu kita (keluarga) dapat menempatkan peran diri dengan baik tanpa menaruhnya secara salah .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun