Baru saja kita terperangah oleh penangkapan seorang mahasiswa FISIP sebuah universitas ternama di Jawa Timur oleh Densus 88 Anti teror karena terindikasi dengan terorisme. Sang mahasiswa yang berumur 22 tahun ini terindikasi penyebar faham radikal dan terorisme melalui media sosial. Dia juga terindikasi mengumpulkan dana bagi kegiatan terorisme. Dia terancam lima tahun penjara.
Banyak orang bertanya dari mana Densus 88 tahu bahwa mahasiswa itu terkait dengan terorisme ? Atau ada pertanyaan, dari mana Densus 88 tahu seorang pengurus MUI terkait dengan terorisme dan radikalisme ? Atau bisa juga pertanyaan , bagaimana seorang gadis pendiam dari keluarga saleh dan harmonis dan bertempat tinggal di Jakarta Timur terkait dengan tindakan radikal dengan menyerang Mabes Polri ?
Tentu saja aparat kepolisian sudah mengantongi banyak hal tentang mereka. Entah itu jejak digital (internet), jejak komunikasi, atau jejaring dana yang mungkin orang lain tak tahu. Bahkan seringkali aparat tahu keterkaitan sang tersangka dengan mentornya yang mungkin jauh di luar negeri. Sehingga fenomena penangkapan mahasiswa di Malang itu menrupakan keniscayaan bagi penindakan terorisme.
Yang paling memprihatinkan adalah keterlibatan kaum intelektual dalam hal ini kampus dengan kegiatan radikalisme dan terorisme. Entah keterkaitan sang mahasiswa FISIP Malang itu, atau mantan alumni beberapa universitas yang akhirnya menjadi pelaku tindakan terorisme atau beberapa dosen yang terindikasi serupa. (mungkin kita ingat seorang dosen IPB yang terbukti mambuat puluhan bom rakitan dan direncanakan akan diledakkan di Jakarta pada tanggal tertentu.
Dari kisah ini kita bisa mengerti bahwa banyak kalangan yang terpapar radikalisme dan terorisme tanpa mengenal pendidikan atau status sosial. Faham yang sering dikaitkan dengan agama ini memang menjadi duri dalam daging dalam sejarah kebangsaan kita selama lebih dari dua dekade sejak bom Bali pertama.
Hal yang paling menganggu adalah bahwa tindakan mengebom dengan atau tanpa bunuh diri, menyerang aparat seperti penyerangan gadis pendiam di Mabes Polri itu atau berangkat ke Suriah dengan membawa keluarganya merupakan salah satu perjuangan menegakkan ajaran agama. Dan  tentu saja keyakinan itu salah besar.
Karena itu mungkin kita harus fokus untuk membangun situasi yang memungkinkan harmoni untuk semua. Semisal membangun kebijakan perguruan tinggi yaitu kegiatan belajar dan mengajar yang berprespektif Pancasila dengan toleransi sebagai ciri khasnya. Kaum intelektual pasti paham soal ini karena bangsa kita memang berangkat dari ribuan bahkan ratusan ribu perbedaan dan tidak membiarkan agama dipahami secara terpisah dengan konteksnya.