Mohon tunggu...
Yolan Permana
Yolan Permana Mohon Tunggu... Mahasiswa Teknik Informatika UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Halo! Nama saya Yolan Permana, saya berasal dari Purbalingga. Saya memiliki minat yang besar terhadap tempat wisata dan sejarah, yang mana selalu memberikan inspirasi kepada saya dalam kehidupan sehari-hari. Selamat datang di blog saya, tempat saya berbagi cerita dan pengalaman!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Confluence hingga Trello: Mana yang Paling Mendukung Knowledge Management?

7 Mei 2025   18:30 Diperbarui: 7 Mei 2025   17:17 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar. (Sumber: Freepik.com)

Confluence hingga Trello: Mana yang Paling Mendukung Knowledge Management?

Artikel ilmiah berjudul "Comparative Analysis of Project Management Tools to Support Knowledge Management" karya Ayu Fajar Rachmawati, Rina Fitriana, dan Achmad Nizar Hidayanto, yang diterbitkan dalam jurnal IOP Conference Series: Materials Science and Engineering (Volume 1098, Isu 3, Februari 2021), menyajikan analisis komparatif terhadap lima alat manajemen proyek: Trello, Asana, Confluence, Targetprocess, dan Notion. Penelitian ini menyoroti bagaimana kelima alat tersebut berkontribusi pada pengelolaan pengetahuan (knowledge management/KM) dalam konteks proyek teknologi informasi, dengan menggunakan empat dimensi KM berdasarkan PMBOK: capture, storage, sharing, dan application.

Di tengah derasnya transformasi digital, kebutuhan akan pengelolaan pengetahuan yang sistematis menjadi sangat penting. Sebuah studi oleh McKinsey (2020) menunjukkan bahwa karyawan rata-rata menghabiskan 19% waktu kerja mereka untuk mencari informasi yang sudah pernah dibuat sebelumnya. Jika pengetahuan tidak terorganisasi dengan baik dalam sistem proyek, organisasi berisiko kehilangan efisiensi, menambah beban biaya, bahkan kehilangan peluang inovasi. Oleh karena itu, kemampuan tools manajemen proyek dalam mendukung manajemen pengetahuan bukan lagi fitur tambahan, melainkan kebutuhan esensial.

Namun, banyak organisasi memilih tools berdasarkan tren pasar atau kemudahan penggunaannya semata, tanpa mengevaluasi kemampuan tool tersebut dalam mendukung siklus pengetahuan. Padahal, seperti yang diungkapkan oleh Rachmawati et al., setiap tool memiliki kekuatan dan keterbatasan masing-masing. Artikel ini memberikan perspektif penting bahwa alat manajemen proyek harus dilihat sebagai knowledge enabler, bukan sekadar pelacak tugas atau jadwal.

Dengan mempertimbangkan realitas tersebut, opini ini akan mengulas lebih dalam tentang hasil studi tersebut, mengkritisi pendekatan yang digunakan, serta menyoroti pentingnya integrasi antara teknologi dan manajemen pengetahuan sebagai fondasi strategis dalam menjalankan proyek digital modern.

***

Salah satu kekuatan utama dari artikel ini adalah pendekatan sistematis dalam mengevaluasi lima tools populer berdasarkan empat dimensi knowledge management dari PMBOK: capture, storage, sharing, dan application. Penulis menemukan bahwa Confluence paling menonjol dalam aspek penyimpanan (storage) dan berbagi informasi (sharing), sementara Trello dan Asana unggul dalam menangkap pengetahuan (capture). Ini menunjukkan bahwa tidak ada alat yang sempurna secara holistik, dan setiap organisasi perlu melakukan fit-gap analysis sebelum mengadopsi alat tertentu.

Sebagai contoh, Confluence memiliki fitur dokumentasi yang kuat, wiki internal, serta kemampuan kolaboratif real-time yang sangat cocok untuk menjaga pengetahuan tetap terdokumentasi dan mudah diakses. Sementara itu, Trello dan Asana lebih intuitif dalam menangkap aktivitas dan catatan harian proyek melalui kanban boards, checklist, dan komentar tugas. Namun, aspek penerapan pengetahuan (application) masih menjadi kelemahan umum di semua tools, karena fitur tersebut lebih bergantung pada budaya organisasi daripada teknologi itu sendiri.

Menurut data Statista (2021), Trello memiliki lebih dari 50 juta pengguna aktif, sedangkan Asana memiliki sekitar 100 ribu pelanggan premium dari lebih dari 190 negara. Angka ini mencerminkan popularitas, namun bukan jaminan efektivitas jika tidak diikuti dengan integrasi strategi KM yang kuat. Dalam studi Rachmawati et al., fitur-fitur yang mendukung dimensi application, seperti lesson learned repository atau project retrospective management, masih kurang mendapat perhatian pengembang tool secara eksplisit.

Hal menarik lainnya adalah dimensi sharing. Di era kerja jarak jauh (remote working) yang melonjak sejak pandemi COVID-19, kemampuan tools dalam mendukung kolaborasi dan distribusi pengetahuan menjadi sangat vital. Sebuah laporan oleh Gartner (2022) menyebutkan bahwa 74% organisasi berencana mempertahankan sebagian besar pekerjaannya dalam mode hybrid, sehingga kolaborasi berbasis pengetahuan harus diakomodasi oleh platform digital.

Sayangnya, seperti yang disoroti oleh penulis artikel, keputusan pemilihan tools sering kali tidak mempertimbangkan faktor knowledge management. Banyak organisasi memilih tools berdasarkan user interface atau lisensi yang murah, tanpa menganalisis apakah tools tersebut mampu menyimpan, berbagi, atau menerapkan pengetahuan proyek secara efektif. Akibatnya, pengetahuan kritikal mudah terfragmentasi dan sulit diakses kembali ketika dibutuhkan.

Melalui pendekatan komparatif ini, penulis artikel berhasil membuka mata pembaca tentang pentingnya melihat tools proyek tidak hanya dari sisi produktivitas, tetapi juga dari sisi pengelolaan pengetahuan. Ini menjadi pengingat bagi para praktisi dan manajer proyek bahwa alat bukan hanya soal tugas selesai, melainkan juga pengetahuan lestari.

***

Penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati, Fitriana, dan Hidayanto (2021) memberikan kontribusi penting dalam mengarahkan perhatian organisasi terhadap aspek manajemen pengetahuan dalam pemilihan alat manajemen proyek. Di tengah tuntutan digitalisasi dan kerja kolaboratif lintas waktu serta lokasi, integrasi antara teknologi dan strategi pengetahuan menjadi krusial. Pemilihan tools manajemen proyek seharusnya tidak lagi berfokus pada popularitas atau antarmuka semata, melainkan juga pada sejauh mana alat tersebut mampu mendukung siklus pengetahuan dari penangkapan hingga penerapannya.

Dari perspektif rekayasa perangkat lunak, temuan ini membuka peluang untuk pengembangan tools yang lebih adaptif dan KM-aware. Jika kita ingin membangun organisasi yang belajar secara berkelanjutan (learning organization), maka sistem informasi internal harus dirancang untuk mendukung kontinuitas pengetahuan, bukan hanya eksekusi pekerjaan. Artinya, dibutuhkan fitur yang secara eksplisit mendukung proses lesson learned, integrasi pengetahuan lintas proyek, serta aksesibilitas dokumentasi dalam jangka panjang.

Sebagai penutup, saya meyakini bahwa integrasi manajemen pengetahuan ke dalam tools manajemen proyek bukanlah opsi tambahan, melainkan fondasi utama dalam membangun organisasi yang cerdas dan berkelanjutan. Organisasi yang bijak akan memilih alat yang bukan hanya menyelesaikan tugas hari ini, tetapi juga menyimpan pelajaran untuk keberhasilan di masa depan.

Referensi

Rachmawati, A. F., Fitriana, R., & Hidayanto, A. N. (2021). Comparative analysis of project management tools to support knowledge management. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 1098(3), 032060. https://doi.org/10.1088/1757-899X/1098/3/032060

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun