Merkantilisme adalah teori ekonomi klasik yang menekankan pada kemandirian ekonomi suatu negara dengan cara mempertahankan neraca perdagangan yang menguntungkan. Merkantilisme merupakan teori ekonomi yang populer pada tahun 1800-an. Tujuan utama dari teori merkantilisme ini adalah memaksimalkan kekayaan negara yang awalnya diukur melalui logam mulia dalam bentuk emas dan perak. Pada awalnya merkantilisme dilakukan melalui kolonialisme suatu negara maju ke negara lain.
      Salah satu prinsip dasar pada merkantilisme adalah menekankan pada kemandirian ekonomi melalui surplus perdagangan dan intervensi negara dalam kegiatan ekonomi. Pada masa sekarang implementasi dari prinsip merkantilisme bisa dilihat dari  Pemerintah yang menerapkan tarif tinggi pada barang impor, menyubsidi industri dalam negeri, dan bahkan melarang migrasi tenaga kerja asing. Adanya pemaksimalan ekspor dan meminimalkan impor, merkantilisme juga dipandang sebagai bentuk proteksionisme ekonomi. Tujuannya adalah agar negara tidak tergantung pada kekuatan asing, baik dalam hal produksi maupun konsumsi.
      Transformasi merkantilisme menjadi praktik modern paling jelas terlihat dalam strategi Belt and Road Initiative (BRI) yang digagas oleh Tiongkok sejak 2013. Melalui program ini, Tiongkok menawarkan pinjaman besar-besaran kepada negara-negara berkembang untuk pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan, jalan, dan kereta api. Di samping kebaikan hati Tiongkok ini, ada pola merkantilisme yang dapat dilihat yakni, munculnya pengaruh ekonomi pada negara-negara yang mendapatkan pinjaman Tiongkok. Pengaruh ekonomi yang terjadi masuk melalui penguasaan aset strategis, bukan melalui penjajahan langsung seperti pada era kolonialisme di masa lalu namun, melalui jerat utang atau debt trap.Â
      Salah satu negara yang bisa dijadikan contoh dari adanya jerat utang ini adalah Sri Lanka. Sri Lanka, sebuah negara pulau strategis di Samudera Hindia, menjadi salah satu penerima utama investasi Tiongkok melalui Belt and Road Initiative (BRI). Dengan lokasi geografisnya yang berada di jalur pelayaran utama antara Timur dan Barat, Sri Lanka menawarkan nilai strategis yang signifikan bagi ambisi maritim Tiongkok. Berakhirnya perang Saudara Sri Lanka, menyebabkan negara ini berusaha mengejar pembangunan infrastruktur agresif. Dengan keadaan yang ada, Tiongkok hadir dengan menawarkan alternatif pendanaan tanpa syarat politik yang ketat, berbeda dengan lembaga keuangan tradisional.
      Salah satu kasus paling sering dijadikan contoh adalah proyek Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka. Pembangunan jembatan ini memakai dana pinjaman dari Exim Bank of China. Pelabuhan ini dibangun di distrik kelahiran Presiden Rajapaksa, dengan biaya total lebih dari $1,5 miliar. Pinjaman dari Exim Bank of China di mulai dari fase I yakni, pinjaman $307 juta dengan bunga 6,3%. Fase II, pinjaman bertambah sebanyak $757 juta pada 2012. Setelah pembukaan, pelabuhan ini gagal menarik lalu lintas kapal yang diharapkan, beroperasi dengan kapasitas jauh di bawah perkiraan. Akibat gagalnya pelabuhan ini, pada Desember 2017, Sri Lanka terpaksa menyerahkan kontrol pelabuhan kepada China Merchants Port Holdings dengan perjanjian sewa 99 tahun sebagai pertukaran untuk mengurangi utang negara sebesar $1,1 miliar. Melalui kasus ini, Tiongkok tidak hanya mendapat kendali atas pelabuhan penting secara geografis di Samudra Hindia, tetapi juga meningkatkan pengaruhnya pada kebijakan luar negeri Sri Lanka.
      Kasus pengambilalihan pelabuhan Hambantota di Sri Lanka ini mencerminkan karakteristik dari neo-merkantilisme baru atau merkantilisme baru. Beberapa unsur merkantilisme yang dapat dilihat yakni:
- Penguasaan Aset Strategis
- Tiongkok secara sistematis menargetkan pelabuhan, bandara, jaringan listrik, dan infrastruktur penting lainnya. Dalam kasus Pelabuhan Hambantota, bukan hanya pelabuhan komersial biasa, tetapi memiliki potensi geopolitik tinggi. Letaknya dekat jalur pelayaran internasional yang padat, menjadikannya nilai tambah strategis bagi Tiongkok dalam konteks ekonomi dan militer.
- Ketergantungan Ekonomi
- Ketika negara peminjam tidak dapat membayar utang, mereka berada dalam posisi negosiasi yang lemah, membuka peluang bagi negara kreditor yakni China untuk mengamankan konsesi ekonomi dan politik. Â Kasus pelabuhan ini, menunjukkan bahwa Sri Lanka memiliki ketergantungan akan China akibat utang yang dimilikinya.
- Pinjaman yang Menguntungkan Tiongkok
- Pinjaman Tiongkok ke Sri Lanka rata-rata memiliki bunga 3-6%, jauh lebih tinggi dari pinjaman konsesi dari lembaga multilateral (0,25-2%). Dalam pembangunan proyek, sebagian besar perjanjian mensyaratkan penggunaan kontraktor, pekerja, dan material dari Tiongkok. Artinya, meskipun dana "dipinjamkan" ke Sri Lanka, aliran ekonomi tetap akan kembali ke Tiongkok.
Melihat kasus ini, debt trap memang terlihat merupakan salah satu tipu muslihat China. Namun, meskipun ada risiko utang dari proyek-proyek BRI, tidak semua kasus dapat digeneralisasi sebagai bentuk jebakan. Negara peminjam tetap memiliki kebebasan dalam menentukan prioritas pembangunan, atau bahkan hak untuk mengambil pinjaman Tiongkok ataupun tidak. Kasus Sri Lanka bukan anomali, tetapi merupakan contoh paling menonjol dari strategi global yang lebih luas. Meskipun terdapat manfaat dari investasi infrastruktur Tiongkok, negara-negara berkembang seperti Sri Lanka perlu berhati-hati terhadap konsekuensi jangka panjang dari pinjaman besar dengan persyaratan yang kurang menguntungkan.
Di satu sisi, meskipun motif Tiongkok mungkin bukan secara eksplisit untuk menjebak, struktur dan kondisi pinjaman yang kurang transparan, dominan dalam bentuk komersial (bukan hibah), serta keterlibatan perusahaan milik negara Tiongkok dalam pengerjaan proyek, membuat praktik ini tetap memiliki implikasi merkantilisme yang kuat. Kasus ini menunjukkan bahwa praktik merkantilisme tidak berubah, implementasinya tetap ada dengan bentuk yang baru. Jika di masa lalu merkantilisme dijalankan melalui kolonialisme dan monopoli dagang, maka kini ia hadir melalui diplomasi utang, proyek infrastruktur berskala besar, dan intervensi ekonomi strategis oleh negara kuat terhadap negara yang lebih lemah.
Di tengah globalisasi yang mengidealkan keterbukaan dan kerja sama, kebangkitan neo-merkantilisme menunjukkan bahwa perebutan pengaruh ekonomi tetap menjadi agenda utama dalam hubungan internasional. Untuk negara-negara berkembang seperti Sri Lanka, pelajaran yang dapat diambil adalah pentingnya manajemen fiskal yang cermat, penilaian risiko jangka panjang, serta kemandirian dalam menentukan arah pembangunan nasional, agar tidak terjebak dalam dinamika dominasi ekonomi baru yang halus namun mencengkeram.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI