Mohon tunggu...
mort retardée
mort retardée Mohon Tunggu... Penulis

Menulis, membaca , rekreasi. Jika gagal jangan takut untuk mencoba kembali.

Selanjutnya

Tutup

Trip

Jalan Menuju Timur

6 Agustus 2025   13:29 Diperbarui: 6 Agustus 2025   13:29 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin pagi Kupang tak pernah keras, tapi selalu mengandung bisikan yang aneh---seperti suara laut yang jauh, atau seperti kenangan yang tertinggal di antara batu-batu karang.

Di Terminal Naikoten, aku berdiri sendirian, menatap minibus tua berwarna biru pudar yang akan membawaku ke Atambua. Sopirnya sudah tua, dengan wajah seperti batu karang, dan tangan yang seolah hafal semua lubang di jalan panjang menuju timur.

"Apa kau yakin mau ke sana sendirian?" tanya Pak Sopir, suaranya parau seperti langit yang belum sempat hujan.

Aku hanya mengangguk. Di sakuku, sebuah surat lusuh tersimpan. Bukan surat cinta, bukan pula panggilan dinas. Hanya selembar kertas tua, dengan tulisan tangan yang nyaris pudar:

"Aku menunggumu di perbatasan, bila suatu hari kau ingin mengerti siapa dirimu yang sebenarnya."

Perjalanan dimulai seperti semua perjalanan: sunyi, ragu, dan penuh debu. Jalanan Kupang yang rata segera berubah menjadi tikungan-tikungan licin di Soe. Bukit-bukit menjulang seperti punggung naga tidur. Kadang mobil harus berhenti, memberi jalan bagi kawanan kambing yang malas menepi. Kadang kami disambut deretan pohon lontar yang berdiri seperti penonton diam.

Di Kefamenanu, seorang anak kecil berlari mengejar layang-layang. Ia tertawa lepas, dan dalam tawanya aku mendengar nada-nada yang pernah hilang dari hidupku. Barangkali aku pernah sekecil itu, dan barangkali aku pernah sebahagia itu, sebelum waktu menjadi sesuatu yang harus dikejar.

Baca juga: Jalan Pulang

Aku tidur sejenak, terbangun oleh derit ban yang menggilas kerikil. Pak Sopir menyodorkan segelas air. "Minum dulu. Di jalan seperti ini, bukan hanya tubuh yang haus. Jiwa juga."

Aku hanya tersenyum, meski tak sepenuhnya paham. Tapi barangkali memang begitu: ada perjalanan yang tak hanya memindahkan tubuh, tapi juga menggugah jiwa yang lama terdiam dalam rutinitas.

Matahari mulai condong ke barat ketika kami mendaki perbukitan sebelum Atambua. Udara mulai berbeda---lebih kering, lebih tajam. Di kejauhan, terlihat hamparan rumah-rumah berdinding anyaman, atap seng yang berkilau terkena sinar senja. Di salah satu lereng, berdiri seorang lelaki tua dengan mata yang menatap jauh ke batas negara. Ia seperti penjaga yang sudah lupa sejak kapan ia berdiri di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun