Angin pagi Kupang tak pernah keras, tapi selalu mengandung bisikan yang aneh---seperti suara laut yang jauh, atau seperti kenangan yang tertinggal di antara batu-batu karang.
Di Terminal Naikoten, aku berdiri sendirian, menatap minibus tua berwarna biru pudar yang akan membawaku ke Atambua. Sopirnya sudah tua, dengan wajah seperti batu karang, dan tangan yang seolah hafal semua lubang di jalan panjang menuju timur.
"Apa kau yakin mau ke sana sendirian?" tanya Pak Sopir, suaranya parau seperti langit yang belum sempat hujan.
Aku hanya mengangguk. Di sakuku, sebuah surat lusuh tersimpan. Bukan surat cinta, bukan pula panggilan dinas. Hanya selembar kertas tua, dengan tulisan tangan yang nyaris pudar:
"Aku menunggumu di perbatasan, bila suatu hari kau ingin mengerti siapa dirimu yang sebenarnya."
Perjalanan dimulai seperti semua perjalanan: sunyi, ragu, dan penuh debu. Jalanan Kupang yang rata segera berubah menjadi tikungan-tikungan licin di Soe. Bukit-bukit menjulang seperti punggung naga tidur. Kadang mobil harus berhenti, memberi jalan bagi kawanan kambing yang malas menepi. Kadang kami disambut deretan pohon lontar yang berdiri seperti penonton diam.
Di Kefamenanu, seorang anak kecil berlari mengejar layang-layang. Ia tertawa lepas, dan dalam tawanya aku mendengar nada-nada yang pernah hilang dari hidupku. Barangkali aku pernah sekecil itu, dan barangkali aku pernah sebahagia itu, sebelum waktu menjadi sesuatu yang harus dikejar.
Aku tidur sejenak, terbangun oleh derit ban yang menggilas kerikil. Pak Sopir menyodorkan segelas air. "Minum dulu. Di jalan seperti ini, bukan hanya tubuh yang haus. Jiwa juga."
Aku hanya tersenyum, meski tak sepenuhnya paham. Tapi barangkali memang begitu: ada perjalanan yang tak hanya memindahkan tubuh, tapi juga menggugah jiwa yang lama terdiam dalam rutinitas.
Matahari mulai condong ke barat ketika kami mendaki perbukitan sebelum Atambua. Udara mulai berbeda---lebih kering, lebih tajam. Di kejauhan, terlihat hamparan rumah-rumah berdinding anyaman, atap seng yang berkilau terkena sinar senja. Di salah satu lereng, berdiri seorang lelaki tua dengan mata yang menatap jauh ke batas negara. Ia seperti penjaga yang sudah lupa sejak kapan ia berdiri di sana.
Mobil berhenti di pinggir kota. "Sudah sampai," kata Pak Sopir. "Atambua. Perbatasan."
Aku turun dengan langkah pelan. Langit Atambua berwarna tembaga, dan angin membawa bau tanah, daun kering, dan sesuatu yang lebih tua dari sejarah. Di seberang jalan, berdiri sebuah rumah sederhana. Di berandanya, duduk seorang perempuan tua dengan rambut perak dan mata yang tajam seperti mata burung alap-alap.
Aku mendekat, memperlihatkan surat itu. Ia membacanya perlahan, lalu mengangguk.
"Kau cucunya," katanya. "Dia sudah lama pergi. Tapi dia selalu percaya kau akan datang, mencari jejak yang sempat kau lupakan."
Aku tak menjawab. Hanya duduk di sampingnya, menatap matahari yang perlahan tenggelam di balik perbukitan. Di antara senyap sore dan desir angin perbatasan, aku merasa seperti baru saja pulang---bukan ke rumah, tapi ke bagian dari diriku yang selama ini hilang.
---
Ada perjalanan yang membawamu ke tempat baru. Tapi ada pula perjalanan yang membawamu kembali ke dalam dirimu sendiri. Dan perjalanan ke Atambua adalah keduanya---sebuah perjalanan yang memeluk tanah, sejarah, dan sunyi yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI