Ribuan rakyat Indonesia kembali dibuat sengsara oleh kebijakan sepihak lembaga keuangan dan aparat negara. Dalam dua bulan terakhir, laporan pemblokiran ATM dan penyitaan tanah semakin meningkat. Ironisnya, semua dilakukan atas nama "penertiban", namun kenyataannya justru menindas warga kecil. Negara lagi-lagi menunjukkan keberpihakannya: bukan pada rakyat, tapi pada kapital dan kekuasaan.
ATM Rakyat Diblokir: Uang Sendiri Tak Bisa Diakses
"Uang saya sendiri, tapi saya yang dipersulit. Apa negara ini masih waras?" keluh seorang pedagang kecil di Bekasi yang ATM-nya diblokir sepihak oleh bank karena verifikasi yang tidak masuk akal.
Kasus serupa terjadi di berbagai daerah. Alasan paling sering? "Adanya transaksi mencurigakan", padahal transaksi tersebut hanya pengiriman antar keluarga, atau hasil jualan online. Pemerintah, lewat OJK dan BI, diam seribu bahasa. Tidak ada aturan transparan, tidak ada pembelaan terhadap nasabah.
Yang menyakitkan: para koruptor dan pejabat yang menyimpan uang triliunan malah bebas keluar masuk bank, sementara rakyat kecil harus antri dan diblokir karena dianggap "berisiko".
Apa maksudnya? Rakyat dianggap kriminal sejak awal?
Tanah Disita, Rakyat Terusir di Negeri Sendiri
Tak hanya itu, gelombang penyitaan tanah oleh negara atas nama "pengembangan proyek strategis nasional" juga semakin brutal. Warga di Karawang, Kulon Progo, hingga Kalimantan Selatan tiba-tiba mendapat surat penggusuran. Tanah yang mereka tempati puluhan tahun, lengkap dengan bukti kepemilikan, kini diklaim sebagai tanah negara atau dijual ke investor asing.
Mirisnya, ganti rugi yang dijanjikan seringkali tak sepadan atau tidak dibayar sama sekali. Aparat bersenjata lengkap datang menggusur, tanpa negosiasi. Rumah-rumah dibongkar, lahan diratakan, dan masyarakat dipaksa pindah tanpa kepastian.
Apakah ini wajah pembangunan? Atau justru wajah penjajahan baru atas nama investasi?