Mohon tunggu...
Yohanes Jeng
Yohanes Jeng Mohon Tunggu... Novelis - Filsafat

Mengubah dunia dengan mengubah diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Konsep Tuhan Menurut Agustinus (Oleh Mikael Sadsuitubun, MSC)

13 Oktober 2019   17:22 Diperbarui: 13 Oktober 2019   17:32 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

1. Orang Itu Mempunyai Kompetensi

Supaya kita percaya pada seseorang maka perlu tahu bagaimana kompetensi atau orang itu sungguh-sungguh tahu tentang hal yang diinformasikan kepada kita. Misalnya, jika kita hendak memperbaiki komputer maka kita akan mencari orang yang ahli dalam bidang komputer, tetapi jika kita bertanya tentang komputer kepada seorang ahli tanaman padi atau kepada ahli otomotif maka kita tentu tidak menemukan jawaban yang pasti dari kedua ahli yang bukan dari latar belakang kompetensi komputer[2]. 

2. Orang Kompeten yang Baik dan Jujur

Pada point yang kedua ini penulis mengajak kita untuk semakin masuk lebih jauh lagi dalam hal percaya yakni kita tidak cukup hanya percaya pada orang yang hanya memiliki kompetensi saja tetapi harus lebih dari itu yakni, orang berkompeten di tambah unsur baik dan jujur. Dua unsur baik dan jujur ini mesti ada dalam diri seorang yang kompeten, mengapa? Karena jika kita hanya percaya pada orang yang kompeten tanpa kejujuran dan kebaikan dalam dirinya maka kita kecewa dan sakit hati sendiri.

Misalnya, kita membawa komputer kita kepada ahli komputer yang kompeten di bidang ini tetapi setiap saat kita bolak-bolik dengan komputer yang sama dengan keluhan yang sama pula ataupun keluhan yang lain, setelah di cek rupanya ahli komputer itu tidak jujur karena ia mengganti peralatan yang rusak dengan peralatan bekas dengan usia pakai satu bulan atau dua bulan, karena ia tahu bahwa komponen itu akan segera rusak, hal ini agar si pelanggan datang terus kepadanya. Nah inilah mengapa kita tidak cukup hanya percaya pada orang yang berkompeten saja tetapi juga harus memiliki nilai atau unsur baik dan jujur dalam diri pribadinya sebagai seorang yang kompeten[3]. 

Bagaimana halnya dengan beriman? Apakah alasan untuk kita percaya kepada Tuhan? apakah dasarnya untuk kita percaya sehingga apa yang disampaikan kepada kita dalam hal iman kepada Tuhan itu bisa di pertanggungjawabkan? Pertama tentu kita harus mengerti bahwa percaya adalah percaya. Maka, menjadi seorang manusia yang bodoh adalah karena menyangsikan rasionya sendiri, jika ia dalam hal beriman kepada Tuhan, untuk percaya kepada-Nya kita memutuskan harus mati lebih dahulu dan bertemu Tuhan, setelah pembuktian adanya Tuhan lewat cara kematian kemudian kita meminta untuk hidup kembali dan memberitakannya kepada semua orang.   

Landasan Iman Kepada Tuhan

Hal dasar untuk percaya kepada Tuhan melalui kitab suci dan para nabi serta yang terakhir adalah Ia sendiri mengutus Putranya Tuhan Yesus untuk datang ke dunia, apakah benar-benar bisa kita percaya? Sampai pada titik ini kita perlu membuat suatu analogi, diambil dari sifat-sifat manusiawi yang baik agar kita bisa memahaminya, seperti yang sudah penulis uaraikan diatas yaitu kompeten dan jujur kepada sifat-sifat Tuhan yang disebut Veritas Dei dan Veracitas Dei[4] inilah dua hal dasar yang perlu kita tekankan sebagai landasan iman kepada Tuhan.

Veritas Dei berkaitan dengan kemahakuasaan Allah yang menyebabkan bahwa isi pewahyuannya adalah benar dan tidak dapat sesat (infalibilis). Jika seorang ahli komputer mampu memberikan informasi yang benar dan mampu memperbaiki komputer kita, apalagi Tuhan yang maha mengetahui pasti memiliki kompetensi yang sangat memadai untuk menjamin kebenaran pewahyuan-Nya itu[5].

Sedangkan Veracitas Dei berkaitan dengan sifat Allah yang Maha Baik itu pasti dengan tulus dan jujur akan menyampaikan kepada manusia sesuai dengan kebenaran yang sejati. Seperti tertulis dalam kitab suci Alkitab Yesaya. 45:18b-19, "Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain. Tidak pernah Aku berkata dengan sembunyi-sembunyi atau di tempat bumi yang gelap. Tidak pernah Aku menyuruh keturunan Yakub untuk mencari Aku dengan sia-sia. Aku, Tuhan, selalu berkata benar, selalu memberitakan yang lurus." Hal yang sama pula di sampaikan oleh Tuhan Yesus dalam injil Yohanes. 18:20, "Aku berkata terus terang kepada dunia: Aku selalu mengajar di rumah-rumah ibadat dan di Bait Allah, di tempat semua orang Yahudi berkumpul; Aku tidak pernah berbicara sembunyi-sembuyi." Itulah sifat-sifat Allah dan Putra Allah yang berbicara dengan jujur tanpa menyembunyikan apapun[6]. 

Maka motivasi yang mendorong iman orang subyektif untuk percaya kepada pewahyuan obyektif ialah Veritas Dei dan Vericitas Dei. Dalam hidup harian kitapun demikian, kita hanya percaya kepada orang yang karena pengalamannya dengan orang itu pada waktu-waktu yang sudah lewat. Jika pengalaman yang dialami membuat kita percaya padanya maka kita percaya padanya tetapi jika tidak maka kita kehilangan kepercayaan padanya. Hal samapula dialami oleh bangasa Israel yang percaya kepada Yahweh karena pengalaman mereka bersama yang begitu penuh kasih dan setia pada mereka, sehingga perbuatan kasih Tuhan pada masa lampau menjadi identitas Tuhan yang berfirman pada masa sekarang.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun