Mohon tunggu...
Yohanes De Britto Wirajati
Yohanes De Britto Wirajati Mohon Tunggu... Dosen Jurusan Seni Murni FSRD ISI Surakarta

Dosen/Peneliti/Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Jawa" sebagai Subjek: Catatan John Pemberton (Ulasan Singkat)

7 November 2020   18:00 Diperbarui: 7 November 2020   18:12 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
John Pemberton | foto diunduh dari anthropology.columbia.edu

Alih-alih menyusun sebuah narasi historis mengenai asal-usul dan perkembangan Jawa di Surakarta (Solo) pada abad 18-19, Pemberton justru ingin menelusuri bagaimana wacana-wacana politik pemerintahan selama era Orde Baru dibentuk. Pada bagian pendahuluan Pemberton menuliskan;

"Yaitu, para pejabat Orde Baru yang dominan itu sendiri bertekad kepada, secara obsesif mengabdikan diri kepada, gagasan suatu budaya tradisional, "teristimewa"---meminjam kata-kata mereka (lihat Bab 4)---suatu budaya Jawa tradisional." (p.15).

Berdasarkan kutipan ini dapat dilihat bahwa Pemberton menangkap adanya pengaruh yang kuat dari budaya Jawa tradisional di kalangan pejabat-pejabat era Orde Baru, yang secara otomatis membentuk wacana-wacana politik pemerintahan Orde Baru.

Pemberton berusaha untuk menjelaskan tentang budaya Jawa tradisional dengan menganalisa asal-usul dan perkembangan keraton-keraton di Solo. 

Pada Bab 1 sampai Bab 3 diuraikan secara mendalam mengenai kemunculan, pertumbuhan dan perkembangan keraton Surakarta Hadiningrat, sekaligus saudara mudanya keraton Mangkunagaran. Namun, narasi historis ini lagi-lagi disusun Pemberton bukan untuk menuliskan sejarah keraton-keraton di Solo. 

Analisa Pemberton disusun untuk mendukung argumennya, bahwa budaya Jawa yang terepresentasikan oleh keraton-keraton di Solo telah mengalami "perkawinan" kultural dengan budaya kompeni Belanda, atau mengikuti istilah yang dipakai Pemberton, cara Walandi. 

Melalui penelitian mendalam atas berbagai bentuk historiografi tradisional Jawa (Babad Giyanti, Babad Prayut, Babad Nitik Mangkunegaran, Serat Adhel, Serat Wedhatama, dan seterusnya.) Pemberton berusaha membongkar pergeseran nilai tatacara, adat bahkan busana dalam tradisi adat Jawa, akibat dari "perkawinan" kultural dengan budaya kompeni Belanda.

Selanjutnya pada Bab 4, Pemberton menyusun sebuah penjelasan, seperti yang dituliskannya, atas "dua buah adegan yang menampilkan asal-usul" di era Orde Baru, yaitu Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah dan  upaya rekonstruksi bangunan beserta adat Keraton Surakarta. Pemberton menuliskan tujuan dari penyusunan Bab 4 ini adalah;

"...Untuk menelaah suatu jarak krisis antara keduanya sama saja mengungkapkan adanya suatu jarak sela tertentu antara pemulihan-pemulihan pascakolonial pasca-1965atas masa lalu dengan prefigurasi masa depan zaman kolonial, suatu sela di dalam kehadiran kultural yang sebenarnya terus-menerus dari sosok "Jawa" itu sendiri."(p.208).

Pada Bab 4 ini Pemberton bermaksud untuk menarasikan tentang upaya Pemerintahan Orde Baru (terutama Soeharto dan keluarganya) untuk melakukan "Mini-isasi Jawa" (p.261).

Efek dari "Mini-isasi Jawa" yang terjadi kemudian di analisa oleh Pemberton secara etnografis pada Bab 5 sampai Bab 7. Efek dari "Mini-isasi Jawa"  dilihat Pemberton melalui praktek-praktek ritual "Jawa" semasa Orde Baru. Praktek-praktek ritual tersebut diteliti secara mendetail oleh Pemberton agar dapat dilihat bagaimana pengaruhnya terhadap wacana-wacana Orde Baru. 

Pada Bab 5 praktek ritual yang dianalisa adalah perkawinan, pada Bab 6 praktek yang dianalisa adalah upacara-upacara Desa, seperti Bersih Desa, sedangkan pada Bab 7 praktek ritual yang dianalisa adalah ritual-ritual mistis seperti, menurut istilah Pemberton, "komunikasi-komunikasi dengan dunia-lain".

Pemberton tidak hanya melihat bagaimana pengaruh ritual-ritual "Jawa" mempengaruhi wacana Oerde Baru. Namun melalui penelitiannya tersebut Pemberton juga bermaksud untuk memperlihatkan hal sebaliknya. Bahwa, wacana-wacana politis yang bermunculan semasa Orde Baru juga kemudian mempengaruhi praktek-praktek ritual "Jawa". Hal ini kemudian oleh Pemberton disebut sebagai kelahiran "Jawa" yang lain pada era pemerintahan Orde Baru.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun