Alih-alih menyusun sebuah narasi historis mengenai asal-usul dan perkembangan Jawa di Surakarta (Solo) pada abad 18-19, Pemberton justru ingin menelusuri bagaimana wacana-wacana politik pemerintahan selama era Orde Baru dibentuk. Pada bagian pendahuluan Pemberton menuliskan;
"Yaitu, para pejabat Orde Baru yang dominan itu sendiri bertekad kepada, secara obsesif mengabdikan diri kepada, gagasan suatu budaya tradisional, "teristimewa"---meminjam kata-kata mereka (lihat Bab 4)---suatu budaya Jawa tradisional." (p.15).
Berdasarkan kutipan ini dapat dilihat bahwa Pemberton menangkap adanya pengaruh yang kuat dari budaya Jawa tradisional di kalangan pejabat-pejabat era Orde Baru, yang secara otomatis membentuk wacana-wacana politik pemerintahan Orde Baru.
Pemberton berusaha untuk menjelaskan tentang budaya Jawa tradisional dengan menganalisa asal-usul dan perkembangan keraton-keraton di Solo.Â
Pada Bab 1 sampai Bab 3 diuraikan secara mendalam mengenai kemunculan, pertumbuhan dan perkembangan keraton Surakarta Hadiningrat, sekaligus saudara mudanya keraton Mangkunagaran. Namun, narasi historis ini lagi-lagi disusun Pemberton bukan untuk menuliskan sejarah keraton-keraton di Solo.Â
Analisa Pemberton disusun untuk mendukung argumennya, bahwa budaya Jawa yang terepresentasikan oleh keraton-keraton di Solo telah mengalami "perkawinan" kultural dengan budaya kompeni Belanda, atau mengikuti istilah yang dipakai Pemberton, cara Walandi.Â
Melalui penelitian mendalam atas berbagai bentuk historiografi tradisional Jawa (Babad Giyanti, Babad Prayut, Babad Nitik Mangkunegaran, Serat Adhel, Serat Wedhatama, dan seterusnya.) Pemberton berusaha membongkar pergeseran nilai tatacara, adat bahkan busana dalam tradisi adat Jawa, akibat dari "perkawinan" kultural dengan budaya kompeni Belanda.
Selanjutnya pada Bab 4, Pemberton menyusun sebuah penjelasan, seperti yang dituliskannya, atas "dua buah adegan yang menampilkan asal-usul" di era Orde Baru, yaitu Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah dan  upaya rekonstruksi bangunan beserta adat Keraton Surakarta. Pemberton menuliskan tujuan dari penyusunan Bab 4 ini adalah;
"...Untuk menelaah suatu jarak krisis antara keduanya sama saja mengungkapkan adanya suatu jarak sela tertentu antara pemulihan-pemulihan pascakolonial pasca-1965atas masa lalu dengan prefigurasi masa depan zaman kolonial, suatu sela di dalam kehadiran kultural yang sebenarnya terus-menerus dari sosok "Jawa" itu sendiri."(p.208).
Pada Bab 4 ini Pemberton bermaksud untuk menarasikan tentang upaya Pemerintahan Orde Baru (terutama Soeharto dan keluarganya) untuk melakukan "Mini-isasi Jawa" (p.261).