[caption id="attachment_173306" align="aligncenter" width="529" caption="Ilustrasi/www.flickr.com"][/caption]
Anda tahu suku apa saja yang digunakan oleh KNIL (Koninkiljke Nederlandsche Indische Leger) dalam menumpas berbagai perlawanan di tanah air? Rata-rata hampir semua suku di Nusantara menjadi bagian dari pasukan KNIL, namun persentasenya berbeda-beda. Hal ini merupakan salah satu politik Devide et Impera Belanda dalam melemahkan perlawanan di tanah air. Selain itu, pasukan Belanda yang sebelumnya bertugas menggempur perlawanan di daerah banyak yang gugur akibat terbunuh atau menderita sakit kolera, sehingga prajurit pribumi diharapkan lebih tahan terhadap penyakit tropis. Belanda juga tidak perlu mendatangkan prajurit Belanda dalam jumlah banyak karena akan memboroskan anggaran.
Komposisi Prajurit Pribumi dalam Pasukan KNIL

Menurut catatan Capt. R.P. Suyono dalam bukunya yang berjudul Peperangan Kerajaan di Nusantara terbitan Grasindo, sejak terbentuk (tahun 1830) pasukan KNIL sangat kekurangan prajurit karena rata-rata kebutuhannya adalah 2.000 per tahun, namun prajurit Belanda yang dikirm ke Hindia Belanda rata-rata hanya 1500 hingga 1600 per tahun. Selisih 500 orang merupakan hal urgent mengingat sebagian pasukan yang dikirim juga gugur dalam menjalankan tugas sehingga kebutuhan prajurit semakin membengkak. Tentu saja hal ini tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk menaklukan daerah-daerah yang belum dikuasai --pada abad 19 daerah kekuasaan Hindia Belanda masih kecil-- serta menumpas pemberontakan di daerah-daerah yang bergejolak.
Melihat perbandingan antara jumlah prajurit dan kebutuhan yang tidak seimbang maka perekrutan prajurit pribumi merupakan satu-satunya solusi. Perekrutan ini memberikan kemenangan pihak kompeni terhadap berbagai perlawanan di tanah air, terbukti prajurit Ambon, Manado dan Jawa berhasil menumpas perlawanan di Bali pada tahun 1860. Seiring makin masifnya perekrutan parajurit pribumi serta bergabungnya anak-anak prajurit KNIL yang lahir di tangsi maka jumlah prajurit pribumi di dalam pasukan KNIL meningkat dari tahun ke tahun.
Suyono mencatat pada tahun 1916, jumlah prajurit KNIL terdiri dari 17.854 orang Jawa, 1.792 orang Sunda, 151 orang Madura, 36 orang bugis --menurut Maulwi Saelan (mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa), orang bugis dan Makasar jarang dijadikan prajurit KNIL karena tingkat kesetiaan yang rendah-- dan 1.066 orang Melayu. Adapun orang Ambon yang berjumlah 3.519 orang, orang Manado 5.925 dan 59 orang Alfuru. Jumlah pasukan pribumi ini dilengkapi dengan 8.649 orang Eropa sehingga kekuatan pasukan KNIL menjadi kuat terutama pada awal abad ke 20 hingga sebelum Perang Dunia (PD) II. Komposisi suku dalam pasukan KNIL ini sangat dinamis dari tahun ke tahun namun rata-rata orang Jawa tetap memiliki jumlah prajurit terbanyak karena bisa mencapai 50 %. Orang Sunda 5 %, Manado 15 % dan justru orang Ambon hanya mencapai 12 %. Sisanya adalah suku Timor 4 % dan suku-suku lain seperti Aceh, Batak, Madura dan Bugis masing-masing 1 %.
Komposisi kesukuan yang memiliki sifat dan karakter berbeda ini ternyata juga berpengaruh pada organisasi berperang pasukan KNIL. Hal ini terbukti dari penempatan prajurit ke dalam empat Kompi yang berbeda dalam satu batalyon infanteri. Kompi pertama adalah gabungan orang Eropa dan Manado yang difungsikan berhadapan langsung dengan musuh, menyerang, menembak dan membuat lubang perlindungan. Mereka juga bertugas untuk menghitung kekuatan musuh dengan mengintai. Kompi kedua yang terdiri dari orang Ambon dan Timor merupakan pasukan penggempur yang bertugas melibas musuh namun harus segera ditarik kembali sebelum semuanya hancur. Setelah ditarik maka fungsi kompi ketiga dan keempat yang terdiri dari orang Sunda dan Jawa yaitu melakukan pendudukan dan meciptakan perdamaian. Tugas terakhir ini diberikan kapada prajurit Jawa dan Sunda karena mereka memiliki sifat tenang dan mampu menahan diri.
Diskriminasi Dalam Pasukan KNIL
Belanda selalu senang menciptakan segregasi antara satu kelompok dan kelompok yang lainnya termasuk antar
