Pembangunan Indonesia terus bergerak. Â Lihat saja jalan tol yang terus Panjang, Gedung-gedung menjulang, dan geliat startup digital yang katanya "membawa Solusi". Tapi, di balik semua itu, satu pertanyaan besar muncul: apakah rakyat kecil ikut menikmati semua perkembangan ini?
Jawabannya: belum tentu.
Kalau kita baca Pasal 33 UUD 1945, jelas banget: perekonomian disusun sebagai usaha Bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Tapi realitas di lapangan, banyak kebijakan dan Pembangunan ekonomi kita masih berpihak ke segelintir kelompok. Yang gede makin gede, yang kecil?Disuruh dan "naik kelas" sendiri.
Padahal, lebih dari 60% Masyarakat Indonesia bekerja di sektor informal. Dari pedagang kaki lima, nelayan, tukang ojek, petani, sampai ibu-ibu rumah tangga yang punya usaha rumahan. Mereka ini tulang punggung ekonomi bangsa, tapi sering kali justru luput dari perhatian utama.
Ekonomi Kerakyatan: Bukan Wacana Lama, Tapi Solusi Nyata
Ekonomi kerakyatan bukan istilah kuno yang ketinggalan zaman. Ini konsep yang menekankan bahwa rakyat-bukan korporasi besar-harus jadi actor utama ekonomi. Bukan cuman jadi konsumen, tapi juga produsen, pengelola, dan penentu arah usaha.
UMKM, koperasi, dan BUMDes seharusnya jadi garda terdepan. Tapi mereka sering jalan sendiri, tanpa dukungan nyata dari pemerintah atau akses ke teknologi dan pasar yang layak.
Jangan Salah, Mereka Tangguh
Waktu krisis pandemi, siapa yang bertahan? Bukan Perusahaan besar yang banyak utangnya, tapi justru usaha kecil yang lincah, dekat dengan komunitas, dan bisa cepat beradaptasi. Sayangnya, setelah krisis, bantuan lagi-lagi lebih cepat turun ke yang besar.
Coba bayangkan kalau negara benar-benar serius mengembangkan ekonomi kerakyatan. Memberi pelatihan, mempermudah akses modal, membuka jalur distribusi, hingga mendorong digitalisasi UMKM. Potensinya luar biasa!
Digitalisasi= Jalan Pintas atau Jurang Baru?