Dari Teras Rumah Menuju Harapan Baru: Perjalanan Iman dan Literasi Bersama Pegadaian
Banyak kisah besar lahir dari tempat-tempat kecil. Begitu pula perjalananku sebagai seorang guru sederhana dari Kota Kupang, yang tak pernah membayangkan bahwa teras rumahnya yang sempit akan menjadi ladang bagi lahirnya harapan, iman, dan perubahan hidup bagi banyak anak.
Semua berawal saat aku mengajar di sebuah SD pinggiran kota. Hari-hariku dipenuhi wajah-wajah mungil yang penuh semangat namun menyimpan kegelisahan. Mereka duduk manis, tapi aku tahu banyak dari mereka belum bisa membaca. Bahkan, ada yang sudah duduk di kelas tiga, namun masih kesulitan mengeja namanya sendiri. Hati kecilku bergetar. Tak mungkin aku hanya mengajar dan pulang seperti biasa. Mereka butuh sesuatu yang lebih dari sekadar jam pelajaran,mereka butuh hati yang peduli.
Teras Rumah, Tikar Lusuh, dan Kasih
Maka aku mulai mengundang mereka ke rumah. Lima orang pertama datang dengan malu-malu. Kami belajar di teras rumah. Tidak ada papan tulis mewah, hanya sebuah papan kecil, kapur bekas, dan tikar yang sudah usang. Tapi ada satu hal yang melimpah: kasih.
Hari berganti minggu. Anak-anak yang tadinya enggan mulai datang dengan antusias. Mereka duduk berjejer di tikar, mengeja satu huruf demi huruf, menulis di kertas bekas, dan belajar menyusun kalimat. Kami selalu memulai dengan doa. Saya percaya, di dalam keterbatasan, Tuhan hadir.
Kami tidak punya banyak buku. Aku menulis cerita tangan sendiri dan menggambarnya agar mereka tertarik membaca. Sampai suatu hari, mujizat datang. Seorang saudara dari Jakarta mengirimkan beberapa buku cerita anak dan dua Alkitab bergambar. Aku menangis saat membukanya. Anak-anak bersorak. "Tuhan jawab doa kita, Bu Guru!" kata salah satu dari mereka.
Anak-anak Istimewa dan Mujizat Nyata
Di antara anak-anak yang belajar, ada dua anak dari SLB yang sudah duduk di kelas 3, tetapi belum bisa membaca ataupun berbicara lancar. Mereka dianggap tidak mampu, tetapi hatiku menolak untuk percaya itu. Aku mengajak mereka keluar dari SLB dan mulai melatih mereka sendiri. Hari demi hari, dengan kesabaran dan cinta, mereka mulai berbicara perlahan, mengeja, hingga akhirnya bisa membaca kalimat utuh.
Setelah mereka siap, aku daftarkan mereka ke SD Negeri Kelapa Lima Kupang. Awalnya pihak sekolah ragu, tapi aku yakinkan mereka: "Berilah kesempatan, dan lihat apa yang bisa mereka lakukan." Hari ini? Mereka sudah duduk di bangku SMA. Mereka rajin belajar, suka membaca, dan bahkan sudah bisa membantu orang tua mereka bekerja. Anak-anak yang dulu dianggap tidak mampu, kini menjadi pribadi yang mandiri dan membanggakan.