Melihat kompleksitas tiga fungsi tersebut, muncul kekhawatiran bahwa tanpa landasan pendidikan formal yang memadai, seorang anggota dewan akan kesulitan untuk berkontribusi secara maksimal. Di sinilah letak "bahaya" yang dimaksud: bukan bahaya fisik, melainkan bahaya lahirnya kebijakan yang cacat, anggaran yang boros, dan pengawasan yang mandul.
Ijazah Bukan Segalanya, Tapi Bukan Berarti Tak Penting
Perdebatan ini sering kali disederhanakan menjadi "ijazah vs pengalaman". Memang benar, gelar akademis bukanlah jaminan mutlak atas kompetensi, integritas, dan kebijaksanaan seseorang. Sejarah mencatat banyak tokoh besar dunia yang tidak menamatkan pendidikan tingginya namun memiliki visi yang luar biasa. Pengalaman sebagai aktivis, pemimpin serikat buruh, atau penggerak komunitas bisa menjadi modal sosial dan pengetahuan praktis yang sangat berharga.
Akan tetapi, menafikan sama sekali pentingnya pendidikan formal juga merupakan sebuah kekeliruan. Pendidikan tinggi, pada dasarnya, melatih seseorang untuk berpikir secara sistematis, logis, dan berbasis data. Ia membekali individu dengan kerangka teoretis untuk memahami masalah yang kompleks dan menganalisisnya dari berbagai sudut pandang.
Seorang anggota dewan memang didukung oleh staf ahli dan pakar. Namun, ia tetaplah sang pengambil keputusan. Untuk dapat memanfaatkan masukan dari para ahli secara efektif, ia harus memiliki pengetahuan dasar yang cukup untuk memahami analisis mereka, mengajukan pertanyaan yang tepat, dan tidak sekadar "disetir".
Di era pemerintahan modern yang semakin kompleks dengan isu-isu seperti transformasi digital, perubahan iklim, dan ekonomi global, tuntutan akan kompetensi teknis bagi para pembuat kebijakan semakin tinggi. Dengan demikian, kebijakan syarat minimal pendidikan SMA menjadi semakin problematik jika tidak diimbangi oleh mekanisme lain.
Lantas, apa jalan tengahnya?
Menaikkan syarat pendidikan formal secara drastis (misalnya, menjadi wajib sarjana) mungkin akan mencederai prinsip keterwakilan demokrasi. Solusi yang lebih relevan terletak pada dua pilar utama:
1. Â Peran Partai Politik:
Partai politik memiliki tanggung jawab besar sebagai gerbang pertama seleksi calon legislatif. Mereka harus menerapkan sistem kaderisasi dan rekrutmen yang serius, yang tidak hanya melihat popularitas atau modal finansial, tetapi juga rekam jejak, integritas, dan kapasitas intelektual calon. Partai politik wajib memberikan pendidikan dan pelatihan politik yang berkelanjutan bagi kadernya untuk mempersiapkan mereka mengemban tugas-tugas publik.
2. Â Kecerdasan Pemilih: