Di tengah hiruk pikuk pemilihan umum, masyarakat disuguhkan jajaran potret calon legislatif yang akan memperebutkan kursi terhormat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di antara gelar akademis yang berderet, sering kali terselip fakta yang mengejutkan sebagian orang: syarat minimal untuk menjadi seorang anggota dewan adalah lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat.
Fakta ini tak pelak memantik perdebatan panjang yang selalu relevan setiap lima tahun sekali. Di satu sisi, ini adalah cerminan mulia dari asas demokrasi---bahwa setiap warga negara, tanpa memandang latar belakang pendidikannya, memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan krusial: cukupkah bekal ijazah SMA untuk mengemban tugas negara yang begitu kompleks dan vital? Apakah kebijakan ini masih relevan dengan tantangan pemerintahan modern, atau justru berpotensi membahayakan?
Secara hukum, syarat pendidikan minimal lulusan SMA bagi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD tertuang dalam Undang-Undang Pemilu (UU No. 7 Tahun 2017). Landasan pemikirannya sederhana dan idealis: parlemen adalah "wakil rakyat". Artinya, komposisinya haruslah merefleksikan keragaman masyarakat yang diwakilinya. Ada petani, buruh, pengusaha kecil, seniman, dan berbagai profesi lain yang mungkin tidak semuanya mengenyam pendidikan tinggi.
Membatasi jabatan publik hanya untuk kaum sarjana atau magister dianggap sebagai sebuah elitisme yang mengkhianati semangat demokrasi itu sendiri. Logikanya, seorang wakil rakyat yang berasal dari "akar rumput" mungkin memiliki pemahaman dan empati yang lebih mendalam terhadap persoalan nyata yang dihadapi konstituennya, sebuah kepekaan yang tidak selalu didapat dari bangku kuliah.
Dari sudut pandang ini, kebijakan tersebut tidak berbahaya, malah esensial. Ia memastikan bahwa parlemen tidak menjadi "menara gading" yang diisi oleh teknokrat yang terasing dari realitas sosial. Keterwakilan suara dari berbagai lapisan masyarakat adalah pilar utama agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar membumi dan adil.
Tantangan Kompetensi: Kompleksitas Tugas Wakil Rakyat
Namun, idealisme demokrasi harus berhadapan dengan realitas teknis pemerintahan. Tugas seorang anggota DPR jauh melampaui sekadar menyerap aspirasi. Tiga fungsi utama DPR---Legislasi, Anggaran, dan Pengawasan---menuntut kapasitas intelektual, analitis, dan manajerial yang tinggi.
1. Â Fungsi Legislasi (Membuat Undang-Undang): Proses ini melibatkan perumusan naskah akademik, penyusunan draf pasal per pasal yang presisi, serta pemahaman mendalam tentang ilmu hukum, sosiologi, ekonomi, dan dampak kebijakan. Sebuah kesalahan kecil dalam satu kata pada undang-undang dapat berakibat fatal bagi jutaan orang atau bahkan stabilitas negara. Anggota dewan harus mampu berdebat secara konstruktif dengan pemerintah dan para ahli, serta memahami implikasi jangka panjang dari setiap regulasi yang mereka sahkan.
2. Â Fungsi Anggaran (Menyetujui APBN): Anggota dewan terlibat langsung dalam pembahasan dan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang nilainya ribuan triliun rupiah. Untuk menjalankan fungsi ini secara efektif, mereka memerlukan pemahaman dasar mengenai kebijakan fiskal, ekonomi makro, dan prioritas pembangunan. Tanpa bekal ini, alokasi anggaran bisa menjadi tidak efisien, salah sasaran, dan rentan terhadap permainan kepentingan, yang pada akhirnya merugikan keuangan negara.
3. Â Fungsi Pengawasan (Mengawasi Pemerintah):Â Mengawasi kinerja eksekutif bukanlah tugas yang mudah. Diperlukan kemampuan analisis yang tajam untuk mengevaluasi program pemerintah, membaca laporan pertanggungjawaban yang kompleks, dan melakukan investigasi jika ada dugaan penyelewengan. Pengawasan yang lemah akan membuka pintu bagi korupsi dan inefisiensi birokrasi.