Mohon tunggu...
Yogi Pratama
Yogi Pratama Mohon Tunggu... Penggemar

https://linktr.ee/yogipratama900

Selanjutnya

Tutup

Nature

Ruang Kita juga Ruang mereka

22 September 2025   12:12 Diperbarui: 22 September 2025   12:12 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Manusia dan Hewan Hidup Berdampingan (Ilustrasi AI)

   

Pernahkah Anda membaca berita tentang gajah yang masuk ke perkebunan, macan tutul yang terlihat di dekat pemukiman, atau bahkan monyet yang menjadi "preman" di kawasan wisata? Reaksi pertama kita mungkin adalah rasa takut, cemas, dan anggapan bahwa satwa liar adalah ancaman. Kita membangun tembok, memasang pagar, dan berharap mereka tetap berada di "rumahnya", yaitu hutan.

Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: di mana sebenarnya "rumah" mereka? Dan mengapa mereka semakin sering mengetuk pintu peradaban kita?

Kisah interaksi manusia dan satwa liar sering kali dibingkai sebagai sebuah konflik tanpa akhir. Manusia melawan alam. Padahal, jika kita melihat lebih dalam, ini bukanlah cerita tentang invasi, melainkan tentang krisis ruang hidup. Planet yang kita pijak ini adalah rumah bersama, dan kini saatnya kita belajar kembali cara berbagi ruang dengan lebih bijaksana. Koeksistensi—hidup berdampingan secara harmonis—bukanlah sebuah utopia, melainkan sebuah keniscayaan yang harus kita wujudkan.

Akar Masalah: Ketika Rumah Satwa Semakin Sempit

Untuk menemukan solusi, kita harus jujur melihat akarnya. Konflik manusia-satwa liar (Human-Wildlife Conflict) bukanlah akibat dari satwa yang tiba-tiba menjadi agresif. Ini adalah gejala dari masalah yang jauh lebih besar, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas kita.

  • Fragmentasi Habitat: Bayangkan sebuah permadani hijau yang luas, lalu kita mengguntingnya menjadi potongan-potongan kecil untuk membangun kota, jalan tol, dan perkebunan. Itulah yang terjadi pada hutan. Habitat satwa liar yang tadinya menyatu kini terpecah-belah, membuat mereka terisolasi dan sulit untuk bergerak mencari makan atau pasangan.
  • Kompetisi Sumber Daya: Saat hutan menyusut, sumber makanan dan air alami bagi satwa liar pun ikut berkurang. Dalam upaya untuk bertahan hidup, mereka terpaksa menjelajah ke area yang dihuni manusia, di mana tanaman di kebun atau ternak di kandang terlihat seperti prasmanan yang menggiurkan.
  • Perubahan Iklim: Pola cuaca yang tidak menentu juga mengubah lanskap. Kekeringan panjang atau banjir bisa memaksa satwa untuk bermigrasi ke wilayah baru, yang sering kali sudah menjadi milik manusia.

Mereka tidak datang untuk menyerang; mereka datang karena putus asa. Mereka hanya mencoba bertahan hidup di dunia yang terus berubah dengan cepat.

Mengubah Paradigma: Dari Konflik Menuju Koeksistensi

Kunci utama untuk hidup berdampingan adalah perubahan cara pandang. Kita harus berhenti melihat satwa liar sebagai hama atau musuh. Mereka adalah bagian integral dari ekosistem yang sehat, arsitek alam yang tanpanya dunia kita akan timpang. Harimau mengontrol populasi herbivora, gajah menyebarkan benih-benih pohon untuk regenerasi hutan, dan primata membantu penyerbukan.

Koeksistensi berarti menerima bahwa kehadiran mereka di sekitar kita adalah hal yang wajar. Tujuannya bukan untuk membangun benteng yang lebih tinggi, tetapi untuk menciptakan zona penyangga yang cerdas di mana interaksi dapat dikelola dengan aman bagi kedua belah pihak. Ini adalah tentang mencari solusi inovatif yang memungkinkan manusia sejahtera dan satwa liar tetap lestari.

Langkah Nyata Merajut Ruang Hidup Bersama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun