Mohon tunggu...
Yoga Utami
Yoga Utami Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

menyemai ilmu di ladang kita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apakah Saya Seorang "Opportunistic"? Catatan Akhir 2017

31 Desember 2017   12:15 Diperbarui: 1 Januari 2018   01:00 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apakah saya oportunis? 

Apakah saya mengatur semua yang terjadi demi keuntungan seorang diri?

Kesempatan. Peluang. Memanfaatkan semata. Barangkali demikian makna konotatif dari oportunis. Kalau mau dibikin makna plesetan, ya lebih enak dan mengenyangkan, opor-tumis. 

Kondisi saya saat ini, dan belum tahu sampai kapan, mengharuskan saya berpikir tenang, bahagia, tidak berat dan tidak melelahkan. Jadi, ya dibikin bahagia tanpa harus ada paksaan rela berkorban. Dan tidak usah mengungkit-ungkit tentang apa yang dikorbankan. Mengutip pesan moral tulisan Desmond Tutu, No Future without Forgiveness, tentang orang-orang berwarna di Afrika Selatan  yang tertindas akibat politik apartheid, mereka bukan korban melainkan orang-orang yang bertahan, berjuang.

Not victims but survivors. Kebetulan saya berkesempatan mengalihbahasakan buku karya beliau tersebut saat selesai menuntaskan kuliah saat itu. Dan saya memilih kesempatan tinggal di rumah temani Ibunda saya. Tidak tertarik sibuk mencari kerja lazimnya lulusan baru. Saya hanya memanfaatkan kesempatan menuangkan minat dan kecintaan saya di dunia bahasa dan kemanusiaan. Meski saya sadari keterbatasan ilmu yang saya miliki. Dan saya juga memanfaatkan fatwa yang tertanam dalam di lubuk hati, belajar itu adalah kewajiban tanpa batasan ruang dan waktu. Ah, barangkali saya memang benar-benar seorang yang opportunistic.

Barangkali.
Saya ingat masa kecil. Masih di bangku sekolah dasar. Memanfaatkan buku-buku yang terpajang di rak Ayah. Buku-buku terbawa menemani tidur, berserak. Ibu tidak henti mengingatkan untuk rapikan tempat tidur. Tapi, kalau di luar justru terdengar Ibu seperti tidak bisa sembunyikan rasa bangga meski bernada mengeluh ... "Anak perempuan saya itu, kalau sudah baca,  lupa semuanya".

Salah satu bacaan favorit dari rak buku ke tempat tidur, buku-buku tentang Ki Hajar Dewantara. Saya terkesan kisah perjuangan bapak pendidikan ini termasuk kawan-kawan beliau dalam Tiga Serangkai. Dan entah kebetulan atau apa, menjadi inspirasi yang erat dengan apa yang saya rasakan saat ini. Istilah gaulnya baper, bawa perasaan. Ki Hajar Dewantara tokoh pendidikan dan dua sahabat bertitel dokter, Dokter Setiabudi aka E. Deuwis Dekker dan Dokter Tjipto Mangunkusumo. Barangkali, judul tulisan juga terinspirasi dari tulisan Ki Hajar yang membuatnya dibuang Belanda: Andai Saya Seorang Belanda.

Alasan saya, saya jauh terpisah dengan Tanah Air karena dual hal. Satu, meneruskan pendidikan. Dan kedua, alasan medis. Suatu kebetulan lagi, nama depan neurologist saya atau dokter spesialis ahli syaraf yang berikan diagnosis Multiple Sclerosis memiliki nama depan yang sama dengan nama asli Setiabudi. Dan informasi seputar MS di Indonesia saat ini juga bersumber dari Yayasan MS Indonesia serta para penyitas MS dengan sejumlah dokter ahli dari RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Dan mereka juga para pejuang, survivors. Satu kata kunci dalam bahasa Inggris: resilience. Sempat memang beredar anggapan MS hanya buat orang-orang di negeri empat musim. Istilah almarhumah Ibu barangkali beliau menyebut dengan idiom dalam bahasa Jawa kesayangannya: betah laku prihatin. MS adalah penyakit autoimmune. Ketika kekebalan tubuh justru menyerang tubuh kita sendiri. Hingga kini belum bisa ditemukan penyebab dan penyembuhnya. Bisa ditambahkan renungan penyediaan fasilitas kesehatan masyarakat di Tanah Air.

Dan karena MS yang tak semua orang memahami, biarlah anggapan saya adalah opportunistic menjadi ada. Saya tidak tahu lagi bagaimana cara meyakinkan keberadaannya. Saya hanya ingin membuat diri saya bahagia bersama putri mungil dan suami saya. Amin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun