Mohon tunggu...
Yoga Suganda
Yoga Suganda Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Inikah "Quo Vadis" Ojek?

27 April 2018   16:41 Diperbarui: 27 April 2018   16:43 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tercatat saat ini Gojek sudah memiliki enam belas layanan spesifik kepada pelanggan, dan tentu akan terus bertambah ke depannya. Terlepas dari berbagai isu persaingan tak imbang, dalam konteks strategi pemasaran, antara Gojek dengan pesaing lokal lain, ketergantungan manusia Indonesia pada platform layaknya Gojek nyaris tak terelakkan. Bahkan kenyataan bahwa Gojek tak lagi murni dimiliki oleh Indonesia, tak sedikit pun membuat pelanggan mengubah pilihan.

Mengutip dari hasil penelitian bersama antara Lembaga Demografi UI dengan Gojek Indonesia pada tahun 2017, diperoleh kesimpulan bahwa Gojek berhasil berkontribusi pada perekonomian dengan melibatkan mitra pengojek maupun mitra UMKM. 

Tak tanggung-tanggung, angka yang diklaim sebagai kontribusi dari kolaborasi Gojek dengan mitra pengojek mencapai 8,2 triliun rupiah per tahun. Sedangkan kontribusi bagi perekonomian dari kolaborasi Gojek dengan mitra UMKM mencapai 1,7 triliun rupiah per tahun.

Perubahan cara dari konvensional menjadi daring dalam mobilisasi penumpang menggunakan kendaraan roda dua sejatinya merupakan perubahan revolusioner, sebuah disrupsi, yang tentunya membawa dampak bagi pihak-pihak yang terlibat. 

Perubahan signifikan yang tidak hanya aspek pola layanan, biaya, tetapi juga pola pemilikan terhadap aset (dalam hal ini sepeda motor) yang awalnya menjadi core dari bisnis tersebut.

Salah satu pihak yang terdampak langsung adalah jasa ojek konvensional, yang pada awal kemunculan ojek daring menimbulkan konflik horizontal diantara mereka. Konflik yang menyisakan beberapa cerita yang tidak mengenakkan, karena menimbulkan kerusakan dan beberapa korban luka di beberapa kota di Indonesia.


Beberapa permasalahan yang kini timbul dari fenomena tersebut diantaranya:

  • UU No. 22 tahun 2009 tentang angkutan umum tidak mengakui sepeda motor sebagai moda angkutan umum.

Keberadaan ojek sejak tahun 60-an sampai hari ini, patut mendapat atensi khusus dari pemerintah. Kemampuannya menjelajah hingga gang sempit masih menjadi salah satu andalan masyarakat dalam beraktvitas. 

Peninjauan perlu segera dilakukan mengingat banyaknya perubahan situasi dan kondisi sejak kali terakhir undang-undang tersebut diketuk palu. Jika tidak, pemerintah tentu harus konsisten dan tegas dalam memaknai kehadiran roda dua di jalanan negeri ini. Tidak ada lagi sepeda motor yang diperbolehkan mengaspal untuk menjajakan jasa transportasi kepada masyarakat.

Tidak adanya payung hukum sejatinya membahayakan bagi stakeholder, karena bisnis (baik prinsipal maupun pemodal) menjadi tidak memiliki kepastian hukum, konsumen tidak terproteksi, dan pemerintah dianggap tidak tanggap dalam merespons dan beradaptasi dengan kondisi yang tengah berubah. 

Terlebih jasa transportasi roda dua dalam bisnis ini melingkupi database masyarakat Indonesia, dengan backup dana besar dari luar negeri yang tentunya memiliki potensi impact non bisnis.

  • Sistem angkutan umum yang sifatnya massal saat ini belum layak dan memadai,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun