1000 Cahayadi LangitSidogiri
Aku tertegundiujunggerbang.Di bawahcahayabulan yangtakbegituterang.Isya’ belum lamaberselang.Langkahkutertahan olehketakjuban. Ratusan santri(bahkan mungkin ribuan andai tak bergantian) lalu lalang sepanjangjalanmasuk ke pesantren itu. Kuperhatikankanan kiriku, tampak warung-warungmakanan penuhsesak olehsantri-santriitu. Oohmungkinsaatnyajamistirahatmakan, simpulkusendiri, meskibelumsepenuhnyaterjawabkeherananku.Bagaimanatidak ! di tengah ribuan santri yangsibuk penuhikebutuhannyasaat istirahatbegini, tak kudengar suarahiruk pikuk,takkudapati celotehan-celotehankhasanakmuda. Langkah-langkahmereka, bahasatubuhmereka,pancarkan keta’dzimanyangluarbiasa !.Aku tergelitik untuk langkahkan kaki masuklebih jauhlagi di gang itu . Saat kuperhatikan adabeberapaperempuan yangjugamasuk, mungkin orang tua santri, ataupenjual makanan, ataumungkin juga penduduk setempat, cukup membuat aku lega, setidaknya aku tak sendiri sebagai perempuan di sarang santri,he he.
Aku terhentak ketika tiba-tiba kerumunan santri itu bagai air laut yang terbelah, semua santri menepi memberi jalan pada mobil yang lewat sambil menunduk hormat, akupunspontan mengambil posisi seperti santri-santri itu. . Belum sempat aku bertanya heran, dari arah pondok sudah muncul mobil putih dan aku tak sempat memperhatikan mobil jenis apa. Yang jelas sepertinya mobil para Kyai atau keluarga dalem.
Kembali keperhatikan satu persatu santri-santri itu. Kulihat wajah-wajah yang menawan dengan cahaya yang memancar. Tampilan mereka tampak menarik dengan paduan kemeja sarung dan kopyah, tak ubahnya seorang model, model ala pesantren. Mataku terpaku pada sosok berkemeja kotak-kotak biru hitam yang melintas di depanku, tampak bersih dengan langkah pasti. Sekilas terlihat Kitab Fathul Mu’in dalam dekapannya. Kuperhatikan santri-santri yang lain, sama. Semua tampak bersih dan rapi lengkap dengan sandal di kaki, sopan dengan langkah yang pasti, cerminan orang-orang yang alim. Kenyataan yang kulihat saat ini jauh berbeda dengan anggapan beberapa orang bahwa anak pesantren cenderung kurang terawat karena kamar mandi yang antri dan berebut air, identik dengan pe-ghasab-an atau kehilangan barang-barang karena diserobot teman. Aku yakin hal-hal seperti itu tidak terjadi di sini, di Pondok Pesantren Sidogiri.
Anganku terus berkelana seiring mataku yang terus menatap santri-santri itu. Andai di antara santri-santri itu adalah anakku, duuuuh tentramnya hatiku. Namun itu tak mungkin, karena anakku sudah nyantri di pesantren lain. Masih dalam angan yang terus menguasai otakku saat itu, aku kembali berfikir, biarlah untuk saat ini tak ada anakku di antara santri-santri itu, tapi semoga saja kelakmereka menjadi orang-orang sukses dan di antaranya ada yang menjadi menantuku. He he.....
Lamunanku terhenti saat dari kejauhan dari dalam pondok seorang laki-laki tinggi semampai bersarung ungu matang berjaket hitam berjalan menuju ke arahku. Dialah suamiku, yang malam ini mengajakku untuk menemaninya walaupun aku hanya bisa menunggu di luar pondok. Dan aku punpulang dengan segala kekaguman dan harapan. Malam semakin merangkak sepi, kutengadahkan wajahku ke langit, masih terbayang wajah santri-santri itu di sana, terbayang pula betapa besar perjuangan para Masyayikh Sidogiri membesarkan pesantren ini, perjuangan menyelamatkan umat. Langit malam itu seakan penuh cahaya. Cahaya penuh keberkahan. Dan hatikupun berbisik “Seribu cahaya di Langit Sidogiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI