Sang Paru yang Hendak Diselamatkan

Awal tahun dibuka dengan pernyataan Presiden Indonesia, Joko Widodo yang menetapkan nama calon ibu kota baru Indonesia, yakni Nusantara. Namun terlepas dari hal itu, pemindahan ibu kota masih saja melahirkan pro dan kontra dari berbagai pihak, dan sebagian besar masyarakat lebih condong ke kontra. 

Alasan utama pemindahan ibukota ke Kalimantan yakni karena Pulau Jawa saat ini sudah sangat padat dan juga pemerintah berharap akan adanya pemerataan ekonomi dan pembangunan. 

Namun, apakah dengan dilakukannya pemindahan ibu kota, Kalimantan yang notabenenya paru-paru dunia akan terhindar dari kerusakan? Sebab, dengan dilakukannya pemindahan ibu kota sudah pasti akan terdapat pembangunan berskala besar yang bisa mengorbankan hutan-hutan di sana.

Faktanya, pemindahan ibu kota bukan hanya memberikan dampak kepada hutan-hutan yang bisa dibabat, namun juga bisa mempengaruhi keberlangsungan hidup flora dan fauna. 

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menyebutkan bahwa flora dan fauna bisa terancam punah lantaran habitat mereka hilang dengan adanya pembangunan besar-besaran di Kaltim. Merah menyebutkan salah satu fauna endemik pulau Borneo yang terancam punah akibat mega proyek pembangunan ibu kota baru adalah Bekantan. 

Selain itu, beberapa fauna lainnya yang terancam punah yakni Pesut, Beruang Madu, dan Orangutan. Berbicara tentang flaura dan fauna maka kita tidak mampu lepas dengan yang namanya eksositem sebab, dua hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, semua itu karena flaura dan fauna mempengaruhi rantai makanan dan ekosistem juga terikat dengan rantai makanan. Selain itu, iklim bisa ikut terganggu apabila suatu ekosistem juga terganggu.

Lantas, berbicara tentang kepadatan penduduk, secara garis beras, pemindahan ibu kota jelas tak mampu mengatasi masalah kepadatan penduduk di Pulau Jawa, sebaliknya pemindahan ibu kota melahirkan berbagai macam masalah baru. 

Luca Tacconi, Direktur Jaringan Asia Pasifik untuk Tata Kelola Lingkungan dan Direktur Program Lingkungan dan Pembangunan menyatakan bahwa, "Setidaknya satu setengah juta pegawai negeri akan pindah ke ibu kota negara yang baru. 

Sementara itu, dengan populasi 900.000 jiwa saat ini, wilayah Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara sudah memberi dampak pada lingkungan sekitar. 

Populasi yang meningkat pesat di dekat danau Mahakam akan meningkatkan risiko kebakaran lahan gambut di daerah itu. Semakin banyaknya orang yang bermigrasi ke ibu kota negara baru akan mendorong ekspansi lahan pertanian karena permintaan makanan meningkat." Pemindahan berskala besar ini akan menimbulkan pemindahan kawasan padat sehingga dapat dianalogikan ini layaknya gali lubang tutup lubang. 

Tak sampai di situ, banyaknya orang yang bermigrasi ke Kalimantan jelas akan mempengaruhi wilayah di sana sebab akan lahir alih fungsi hutan menjadi wilayah penduduk hingga resiko kebakaran hutan juga bisa terjadi akibat pembukaan lahan secara besar-besaran yang sering dilakukan secara instan, yakni pembakaran.

Lalu, mengenai pemerataan ekonomi dan pembangunan, hal itu tetap bisa dilakukan meskipun ibu kota tidak dipindahkan. Hal itu dikembalikan lagi ke pemerintah bagaimana mereka mampu melirik pulau lain yang masih menjadi bagian dari Indonesia untuk tetap diperhatikan. 

Sebagai contoh, sudah ada sebuah program sejak tahun 2015 yang dapat memeratakan pembangunan dan ekonomi di luar Pulau Jawa. Program tersebut dinamakan 'Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)'. 

Keberadaan RPJMN menjadi bukti bahwa tanpa dilakukannya pemindahan ibu kota, pemerataan pembangunan tetap bisa dilakukan. Dari hal ini masalah satu mampu menyelesaikan masalah lainnya, sebab dengan adanya pembangunan yang merata, ekonomi suatu wilayah jelas ikut terbantu dengan terciptanya berbagai macam lapangan kerja sehingga migrasi ke Pulau Jawa bisa terhindarkan dan kepadatan pelan-pelan mampu teratasi apabila pembangunan dan ekonomi merata di setiap wilayah.

Sebagai kesimpulan, pemindahan ibu kota ke Kalimantan bukanlah solusi yang efektif untuk mengatasi masalah yang dihadapi negara saat ini. Di mana intinya yakni, Ibu kota tetap dipertahankan di Pulau Jawa agar tak muncul berbagai macam kerusakan dan kerugian akibat pemindahan yang merupakan suatu rencana yang sangat besar bagi Indonesia yang posisinya masih negara berkembang. 

Tidak dipindahkannya ibu kota akan menyelamatkan ekosistem yang ada di Kalimantan. Mengenai kerusakan-kerusakan yang terlanjur ada di sana, sudah seharunya tugas pemerintah mengatasi masalah itu. 

Lantas tentang pemerataan ekonomi dan pembangunan, hal ini harus tetap dilakukan juga demi menghilangkan stigama jawasentris dan melahirkan stigma baru yakni indonesiasentris.

Paling penting untuk ditegaskan, kita harus menyelamatkan Kalimantan dari kerusakan-kerusakan akibat dipentingkannya pendirian bangunan. Sebab, menyelamatkan Kalimantan adalah menyelamatkan bumi karena sudah menjadi narasi publik, Kalimantan merupakan paru-paru dunia. 

Seabagai inti kesimpulan, suatu tubuh bisa berfungsi karena keberadaan paru-paru yang menjadi penunjang hidup. Sama halnya dengan tubuh, dunia mengandalkan Kalimantan yang merupakan paru-paru. 

Rusaknya paru-paru menjadi awal dari kerusakan bumi, karenanya menjaga paru-paru ini bukan hanya tugas warga negara Indonesia, namun tugas orang-orang di seluruh dunia. Jadi, nasib dunia ada di tangan pemerintah Indonesia.