Yang sedang digagas untuk 2025--2028 adalah ekoweduwisata di Ngada dan Rarung. Pengunjung diajak menanam bambu, belajar anyam, memasak rebung, dan menginap di saung bambu. Pendapatan langsung mengalir ke kelompok tani. Ini adalah model konservasi berbasis insentif: masyarakat tak perlu menebang hutan untuk hidup, karena hutan bambu itu sendiri adalah sumber penghidupan. Targetnya ambisius: 70.000 bambu dan 10.000 tanaman ekonomis dalam empat tahun sebuah langkah nyata menuju ketahanan ekosistem, ekonomi, dan sosial yang saling terkait.
Di tengah semua ini, generasi muda menjadi penjaga obor. Di Yogyakarta, mahasiswa UGM merancang "Rumah Bambu Tahan Gempa" berbiaya Rp 35 juta per unit. Di Bandung, startup mengolah limbah serbuk bambu menjadi bioplastik untuk kemasan makanan. Mereka membuktikan bahwa bambu bukan warisan masa lalu, tapi bahan masa depan. Namun, tanpa kebijakan yang mendukung akses modal, pasar, dan regulasi api inovasi ini akan padam di kampus.
Di Gianyar dan Tabanan, Bali, sejak 2012, CIMB Niaga telah menanam 6.700 bambu tabah bukan hanya untuk konservasi, tapi juga sebagai sumber pangan. Rebung bambu tabah diolah menjadi acar, kalengan, hingga keripik produk yang kini menjadi oleh-oleh khas. Pelatihan pasca panen membekali petani dengan teknik pengawetan modern, sehingga nilai jual meningkat tiga kali lipat. Ini adalah bukti nyata bahwa bambu bisa menjadi pilar ketahanan pangan lokal, sekaligus penggerak ekonomi desa.
Di Jawa Tengah, kolaborasi unik sedang berlangsung. Sejak 2022, CIMB Niaga bersama 9 bank anggota FKDKP (Forum Komunikasi Direktur Kepatuhan Perbankan) menanam 6.000 bambu campuran di lahan kritis. Ini adalah bentuk tanggung jawab kolektif sektor keuangan terhadap iklim. Mereka tak hanya menanam, tapi juga membangun sistem pemantauan berbasis digital untuk memastikan keberlanjutan. Model ini bisa menjadi blueprint nasional: setiap sektor ekonomi memiliki "jejak bambu"-nya sendiri.
Lebih dalam lagi, bambu mengajarkan etika ekologis. Di hutan rakyat, petani menerapkan sistem tebang pilih: hanya memanen batang berusia minimal tiga tahun, agar rumpun tetap produktif. Ini adalah prinsip keberlanjutan yang diwariskan leluhur bukan teori akademis, tapi praktik hidup. Ketika kebijakan nasional mulai mengadopsi prinsip ini melalui regulasi yang menghargai hak kelola masyarakat maka bambu akan menjadi simbol kedaulatan ekologis Indonesia.
Di Desa Wogo, Ngada, setiap pagi, anak-anak berjalan melewati rumpun bambu betung yang rindang menuju sekolah. Mereka tak tahu bahwa batang-batang itu menyerap karbon, mencegah longsor, dan menghasilkan air bersih. Yang mereka tahu hanyalah: di bawah naungan itu, mereka merasa aman. Dan mungkin, suatu hari nanti, salah satu dari mereka akan menjadi arsitek yang merancang gedung pencakar langit dari bambu lamina menggabungkan bisikan leluhur dengan serat modern.
Sore itu, di Penglipuran, sang kakek menyerahkan sebatang bambu tabah kepada cucunya. "Jaga baik-baik," katanya. "Di dalamnya ada suara leluhur dan juga suara masa depan." Di tangan sang cucu, batang itu akan diolah menjadi panel lamina untuk sekolah barunya. Dalam serat modern itu, bergema bisikan leluhur mengingatkan kita bahwa jiwa bangsa tak pernah mati selama akarnya masih menyentuh tanah. Dan mungkin, suatu hari nanti, dunia akan belajar dari Indonesia: bahwa kemajuan sejati bukanlah meninggalkan masa lalu, tapi mengakar kuat di dalamnya sambil menjulang ke masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI