Di sebuah bale sakenem di Penglipuran, Bali, seorang kakek tua mengetuk batang bambu tabah dengan ujung jari. "Dengar," katanya. "Ini suara leluhur." Di dalam rongga itu, bergema denting halus seperti bisikan dari masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Bagi masyarakat Bali, bambu bukan sekadar bahan. Ia adalah medium spiritual, bagian dari pawon (dapur suci), angkul-angkul (gapura), dan upacara adat. Namun, di era modern, bisikan itu hampir tenggelam oleh deru beton dan baja. Untungnya, di tengah kebisingan itu, muncul jawaban tak terduga: serat modern bambu lamina, tekstil serat bambu, bahkan bioplastik yang justru menghidupkan kembali jiwa yang hampir punah.
Indonesia adalah rumah bagi 172 spesies bambu , 88 di antaranya endemik. Dari saung Sunda yang melambangkan kebersamaan hingga angkul-angkul Bali yang menjadi gerbang spiritual, bambu telah menjadi penjaga identitas budaya selama berabad-abad. Namun, dalam lompatan pembangunan, bambu dipinggirkan dianggap "bahan kelas dua" untuk masyarakat miskin. Padahal, di balik kesederhanaannya, bambu menyimpan keajaiban: tumbuh satu meter per hari , mencapai kematangan dalam 3--5 tahun, dan mampu mengikat karbon dua kali lipat lebih banyak daripada pohon biasa. Di tengah krisis iklim dan degradasi 24 juta hektar lahan , bambu adalah solusi berbasis alam yang siap digunakan sekaligus jembatan antara tradisi dan inovasi.
Di Desa Ngada, NTT, saya bertemu Ibu Maria, anggota kelompok "Mama Anyam". Dulu, ia hanya menenun anyaman untuk upacara adat. Kini, setelah mengikuti pelatihan dari program konservasi bambu CIMB Niaga  ia merancang tas anyaman dari bambu betung yang dijual hingga Labuan Bajo. "Dulu, bambu hanya untuk ritual," katanya. "Sekarang, ia juga untuk sekolah anak saya." Di sini, bambu menjalankan peran ganda: sebagai penjaga tradisi sekaligus mesin ekonomi. Program ini menanam 10.000 bambu betung di lahan 30 hektar, membangun "Rumah Mimpi" sebagai pusat belajar, dan bahkan mendirikan Kampus Bambu untuk pelatihan berkelanjutan. Hasilnya? Social Return on Investment (SROI) mencapai 1,34  artinya setiap Rp100 juta investasi menghasilkan nilai sosial-ekonomi Rp134 juta.
Namun, transformasi ini tak terjadi begitu saja. Di Lombok, KHDTK Rarung menjadi laboratorium hidup. Sejak 2018, CIMB Niaga menanam 31.200 bambu tabah di lahan kritis seluas 25 hektar. Hasilnya luar biasa: sumber air yang dulu kering kini mengalir deras, dan 59.900 batang bambu yang ditanam sejak 2012 telah menyerap lebih dari 11.400 ton CO Â setara emisi 2.500 mobil selama setahun. Tapi dampak terbesar justru di level rumah tangga. Melalui pelatihan literasi keuangan, kelompok tani belajar memisahkan modal usaha dari pengeluaran keluarga. "Dulu, hasil jualan langsung habis," kata Pak Made, petani setempat. "Sekarang, kami bisa menabung untuk beli mesin anyam baru." Ini adalah revolusi diam-diam:bambu menjadi pintu masuk bagi inklusi keuangan dan kemandirian ekonomi perempuan pedesaan.
Di sisi teknologi, lompatan terbesar terjadi di bambu lamina material rekayasa yang dipres dengan resin ramah lingkungan. Hasilnya? Material yang ringan namun kuat seperti baja , tahan air, dan anti rayap. Di Bali, studio IBUKU telah membuktikan bahwa struktur bangunan dari bambu bisa megah, tahan gempa, dan bertahan puluhan tahun. Menurut Ditjen Industri Agro Kemenperin , potensi produksi bambu nasional mencapai 8,9 juta batang per tahun, tersebar di tujuh provinsi sentra: Banten, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali, dan NTT. Namun, ironi menghantam: Indonesia hanya menguasai 0,9% pasar global jauh di belakang China (74,8%).
Akar masalahnya? Fragmentasi kebijakan. Indonesia belum memiliki Peraturan Presiden yang secara eksplisit menjadikan bambu sebagai komponen wajib dalam program rehabilitasi lahan, perumahan, atau infrastruktur publik. Bandingkan dengan Filipina, yang melalui Executive Order No. 879 (2010)Â mewajibkan 20% furnitur pemerintah berasal dari bambu lokal. Di Indonesia, upaya masih bersifat insidental tergantung pada program CSR seperti CIMB Niaga atau inisiatif daerah seperti "1.000 Desa Bambu".
Untungnya, fondasi kebijakan mulai dibangun. Kemenperin kini mengembangkan Pusat Logistik Industri Bambu di tujuh provinsi untuk menjamin pasokan bahan baku. Di sisi SDM, Akademi Komunitas Bambu di Jabar, DIY, dan Bali melatih "master bambu" yang menguasai desain, teknologi, hingga pemasaran. Sistem Resi Gudang juga akan memungkinkan petani menggunakan stok bambu sebagai agunan pinjaman memutus rantai kemiskinan struktural.
Yang paling mengharukan adalah bagaimana inovasi modern justru menghidupkan kembali kearifan lokal. Di Bali, teknik Joint Taring sambungan tanpa paku yang dikembangkan oleh arsitek lokal menjadi simbol bagaimana tradisi bisa berdialog dengan teknologi. Di Sunda, saung bambu kini tak hanya ruang musyawarah, tapi juga studio podcast anak muda. Di Flores, bambu betung dipilih bukan hanya karena kekuatannya, tapi karena ia tumbuh subur di tanah vulkanik yang gersang menjadi simbol ketahanan di negeri cincin api.
Di Jawa Barat, program CIMB Niaga sejak 2012 telah menanam 6.000 bambu hitam di kawasan pedalaman. Bukan hanya untuk konservasi, tapi juga untuk menghidupkan kembali seni angklung alat musik tradisional yang hampir punah. Melalui pelatihan pembuatan angklung, generasi muda kini belajar bahwa setiap ruas bambu menghasilkan nada berbeda, dan harmoni lahir dari keberagaman. Ini adalah metafora hidup: keindahan bangsa lahir dari keberagaman yang disatukan oleh akar yang sama.
Lebih jauh, CIMB Niaga kini mengembangkan model agroforestri di lokasi programnya. Di Ngada dan Rarung, bambu ditanam bersama kopi, cengkeh, vanili, dan pala menciptakan sistem pertanian berlapis yang memberi pendapatan jangka pendek (rebung, anyaman), jangka menengah (kopi, vanili), dan jangka panjang (bambu konstruksi). Ini adalah jawaban atas dilema petani: konservasi tak harus mengorbankan ekonomi. Sebaliknya, keduanya saling memperkuat.