Mohon tunggu...
Yesi Supartoyo
Yesi Supartoyo Mohon Tunggu... Konsultan - Blogger

Currently working on #KeuanganInklusif

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Halaman Pertama

2 Desember 2020   21:59 Diperbarui: 2 Desember 2020   22:13 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tak ada yang lebih tahu kita ketimbang plasenta. Tak ada rumah yang lebih aman dibanding rahim Ibu"

Dee menuliskan kalimat indah ini pada novelnya berjudul Supernova Episode: Partikel. Saking indahnya, saya mengamini tiap untaian kata yang tercipta. Sebelum terlahir ke dunia, kita hanya berkawan dengan plasenta dan rahim. Setelah terlahir, mereka berdua menjadi kawan lama dan karib yang sayangnya tidak akan pernah mampu kita temui lagi. Pun, ketika kita rindu.

28 Februari 2020, adalah turning point dalam hidup saya. Siapa yang akan menyangka di tanggal inilah saya ditakdirkan Tuhan untuk menyandang gelar sebagai seorang Ibu. Gelar ini sungguh menandingi kehormatan beragam gelar akademik yang saya peroleh susah payah selama ini. Gelar Ibu saya peroleh setelah 9 bulan mengandung dalam kepayahan yang dibarengi rasa antusias yang tinggi dan penuh cinta kasih. Saya benar-benar mencurahkan energi dan doa yang ekstra untuk janin yang bertumbuh dalam rahim.

Tentu ini yang Ibu saya alami dan lakukan ketika mengandung saya 31 tahun silam. Beliau mengandung dan melahirkan saya ke dunia. Menanggalkan semua ego dan kepentingan pribadi, kemudian berfokus pada kepentingan dan keberlangsungan hidup saya kedepan. Buktinya, dengan bermodalkan Ijazah tamatan SMA, beliau mewujudkan mimpi saya meraih jenjang pendidikan tertinggi yaitu S3 (Doktoral) pada usia 28 tahun. Alhamdulillah! Tiada mampu saya membayar semua yang telah beliau berikan, bahkan untuk setetes air susu.

Kerap kali Ibu bercerita mengulang kisah yang sama, seputar kenangan masa kecil. Memang ceritanya itu-itu saja tapi saya tak pernah jenuh. Ceritanya memang samar karena saya tak ingat betul kejadian masa lalu seperti apa. Tapi, bagi Ibu ingatan tentang masa kecil saya seolah baru kemarin terjadi, padahal sudah 3 dekade berlalu.

Diawali dengan cerita tentang bagaimana beliau mengajarkan saya berjalan. Ada satu alat yang beliau rakit sendiri Namanya "Letter A" karena alat tersebut berbahan kayu yang dirangkai menyerupai huruf A. Saban hari tiap pagi dan petang saya belajar berjalan menggunakan alat tersebut. Beliau dengan sabarnya memegang kayu tersebut dan menariknya perlahan sembari mengawasi saya yang berpegang erat pada kayu tersebut. Berkat Ibu saya bisa berjalan, meski tertatih tapi Ibu semangat melatih.

Selanjutnya, saya ingat bagaimana Ibu mengajarkan saya agar gemar menabung. Suatu waktu beliau pulang membawa sebuah buku tabungan dan buku tulis serta payung (saya masih ingat betul payungnya berwarna hijau). Kata beliau "Ibu sudah bukakan rekening tabungan untukmu, sisihkan uang jajan dan ditabung ya. Nanti kamu dapat hadiah buku tulis dan payung dari Bank". 

Saat itu usia saya masih 8 tahun, anak kelas 2 SD mana yang tidak senang bila diberi hadiah? Semenjak itu saya rajin sekali menyisihkan uang jajan (bukan menyisakan, ya!) untuk ditabung, demi mendapatkan hadiah buku tulis dan payung. Saya rasa cara tersebut cukup efektif untuk menanamkan budaya menabung semenjak dini kepada anak-anak.

Cerita berikutnya adalah ketika Ibu mengajari saya membaca. Beliau sabar dan telaten sekali, dibacakannya buku tulis bergambar dengan ejaan huruf yang merangkai kata. 

Saya yang terbiasa membaca gambar terkadang tidak sinkron dan konsisten dalam menyebutkan bacaan kata tersebut setelah dieja per huruf, alhasil beliau tertawa dan dengan sabarnya mengulang terus kata yang sama. Semisal, gambar naga dengan huruf dibawahnya bertuliskan n-a-g-a. Saya cukup piawai mengeja per huruf, tapi ketika merangkai dalam satu kata bukan kata naga yang terucap melainkan ular, karena berfokus pada gambar naga yang menurut saya lebih mirip ular.

Banyak cerita dan kejadian lucu yang menghiasi masa kecil yang kemudian semakin menegaskan bahwa Ibu benar-benar sekolah pertama bagi kami anak-anaknya. Beliau adalah sosok yang kali pertama mengenalkan apa, dimana, bagaimana, mengapa dan kapan tentang segala hal yang terlihat asing bagi kami saat itu. Sampai saat ini pun Ibu terus menjadi sekolah bagi saya, bahkan ketika saya telah menyandang status sebagai seorang Ibu.

Ibu pun terus mengajarkan banyak hal kepada saya tentang bagaimana berperilaku sebagai layaknya seorang Ibu. Kata beliau kita perlu bersikap "Sadis" alias Sabar dan Disiplin dalam menjalani hari-hari dan menyelesaikan segala sesuatu, tidak terkecuali dalam merawat anak dan suami. Beliau juga sampaikan pentingnya tanamkan karakter dan akhlak terpuji bagi anak-anak karena hal tersebut merupakan modal dasar guna menjalani hari-hari di masa depan. 

Ibarat sebuah rumah, hal itu menjadi pondasi yang merupakan hal mendasar dan prinsip kehidupan. Sama halnya dengan rumah tangga, dimana sebuah rumah butuh tangga untuk naik dan meningkatkan kualitas hubungan harmonis pasangan suami istri agar senantiasa menjadi role model terbaik untuk anak-anaknya. Saya pun teringat beliau pernah berpesan kepada saya, singkat tapi cukup mengena "Ibu tidak sempurna, ambil yang baik dari Ibu, buang jeleknya".

Tak terasa sudah 9 bulan lamanya saya menjadi seorang Ibu. Satu yang menarik dan cukup menantang ialah menjadi Ibu di era new normal akibat pandemi COVID-19 seperti sekarang ini. Jujur, secara pribadi saya butuh penyesuaian dan adaptasi diri yang lebih. Tidak hanya penyesuain diri dengan status baru sebagai seorang Ibu melainkan juga dalam hal menyelesaikan pekerjaan.

Sebagai seorang Ibu dan Perempuan pekerja yang notabene dituntut berperan ganda dalam menyelesaikan pekerjaan kantor maupun domestik dalam rumah tangga. Terkadang memang lelah dan saya rasa cukup manusiawi untuk rehat dan beristirahat sejenak.


Kelak saya pun akan menjadi sekolah pertama bagi anak-anak saya. Berbekal ilmu kehidupan yang saya peroleh dari Ibu, saya harus memberikan yang terbaik kepada anak-anak saya, atau minimal sama baiknya dengan apa yang Ibu berikan kepada saya sewaktu kecil dulu. 

Anak perempuan saya pun kelak akan menjadi calon sekolah pertama bagi anak-anaknya nanti. Ibarat rantai kehidupan, di sinilah asal muasal bentuk pengajaran yang akan membentuk kecerdasan berkarakter seseorang. Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya, maka berikanlah pengajaran terbaik. "Kasih Ibu kepada beta (dan anak beta) tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali" memang benar adanya...

p.s: Teruntuk Ibu, Siti Samsiyah:

Bukumu sudah kubuka. Baru halaman pertama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun