Sawadee Kha!
Sapa pemandu perjalanan kami dengan ramah setibanya saya dan rombongan di Bandara Don Mueng, Bangkok pada Mei 2017 silam. Matahari sedang menyinari ibukota Thailand dengan teriknya siang itu. Kami lalu melanjutkan perjalanan menuju pusat kota Bangkok dengan menggunakan bus. Sepanjang perjalanan saya menyaksikan bangunan gedung bertingkat, infrastruktur jalan layang, dan hiruk pikuk lalu lintas transportasi yang sekilas tak ada bedanya dengan ibukota Negara Republik Indonesia, DKI Jakarta. Hmm, Bangkok tak luput dari kemacetan.
Berdasarkan laporan Inrix yaitu perusahaan analis transportasi tentang kondisi lalu lintas di seluruh dunia pada 2016, kemacetan menyebabkan orang-orang di Indonesia rata-rata menghabiskan waktu sia-sia di jalan selama 47 jam dalam satu tahun akibat terjebak macet. Terutamanya Jakarta yang merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian sehingga menjadikannya sebagai kota tersibuk dan menyumbang kemacetan terparah di tanah air. Berdasar data, warga Ibu Kota menghabiskan 55 jam per tahun secara sia-sia di jalan. Angka tersebut lebih tinggi dibanding rata-rata nasional, yakni 47 jam. Namun, posisi Jakarta masih lebih baik dibanding Bangkok. Secara global Jakarta berada di urutan ke-22,sementara Bangkok di peringkat 12.
Di satu sisi pemerintah terus mengupayakan pengentasan kemacetan melalui berbagai cara semisal melalui program penanganan kemacetan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yaitu pembangunan infrastruktur jalan dan transportasi publik serta pembatasan kendaraan melalui program ganjil genap. Tapi, berdasarkan data hasil survey oleh LSI ternyata lebih dari 50 persen warga DKI Jakarta masih kurang puas terhadap penanganan kemacetan di ibu kota. Isu kemacetan terus menjadi masalah klasik di Jakarta.
Sebagai solusi sementara, kendaraan tradisional bernama Tuktuk yang menyerupai bajaj kerap menjadi kendaraan alternatif yang sering digunakan untuk menghindari kemacetan, selain kendaraan beroda dua (ojeg) tentunya. Indonesia khususnya Jakarta pun demikian adanya. Saya pribadi lebih leluasa menggunakan bajaj ataupun ojeg untuk menerobos kemacetan Jakarta terutama ketika diburu waktu. Apalagi saat ini sudah ada transportasi online yang semakin memudahkan berkendara dan lebih efisien dari segi waktu.
Tidak hanya dari segi waktu yang menguntungkan konsumen, faktor pembatas berupa biaya yaitu tarif taksi berbasis aplikasi (online) pun cukup bersaing dibandingkan taksi konvensional. Berdasarkan studi iPrice, tarif taksi online saat ini jauh di bawah taksi konvensional, baik jarak dekat (5 km) dan juga jarak jauh (20 km).