Mohon tunggu...
Pena Wimagati
Pena Wimagati Mohon Tunggu... Mahasiswa dan Jurnalis

Tulis, Baca, Nyanyi dan Berolahraga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

OPINI: Aksi Nasional 4 September dan Konflik Bersenjata Papua: Cermin Kemiskinan Intelektual di Indonesia.

6 September 2025   09:47 Diperbarui: 6 September 2025   09:52 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Izhak Nokuwo 

Indonesia hari ini berdiri di persimpangan jalan sejarahnya sendiri. Di satu sisi, kita menyaksikan kebanggaan atas pembangunan infrastruktur, stabilitas politik yang diklaim oleh penguasa, serta keberhasilan ekonomi yang terus digaungkan. Namun di sisi lain, realitas sosial-politik di lapangan memperlihatkan wajah yang sangat berbeda. Kesenjangan semakin melebar, hak asasi manusia kerap diabaikan, dan suara rakyat sering dibungkam dengan alasan stabilitas. Di tengah situasi itulah, aksi nasional 4 September muncul sebagai sebuah titik kulminasi dari keresahan kolektif masyarakat Indonesia. Ratusan Ribu orang dari berbagai daerah di Indonesia turun ke jalan, bukan semata-mata karena satu isu tunggal, melainkan karena rasa muak terhadap akumulasi kebijakan pemerintah, DPR hingga TNI-POLRI yang dinilai menindas, merugikan, membungkam suara vrakyat kecil.

Aksi nasional ini, bila dicermati lebih jauh, bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Ia adalah gema dari kegelisahan rakyat yang telah lama terpendam. Mulai dari mahalnya biaya pendidikan, sulitnya akses kesehatan, hingga eksploitasi sumber daya alam yang tidak pernah memberi kesejahteraan pada rakyat, semua itu menjadi bara yang kemudian menyala. Namun, ada satu wilayah yang sejak lama menjadi luka dalam tubuh Indonesia dan selalu memantulkan gema protes dengan resonansi berbeda, yaitu Papua.

Papua bukan sekadar daerah yang kaya sumber daya alam dan kaya budaya. Ia adalah wilayah dengan sejarah politik yang penuh luka. Sejak integrasi yang kontroversial pada tahun 1960-an, tanah Papua menjadi ladang konflik berkepanjangan antara negara dan sebagian masyarakatnya. Konflik bersenjata antara aparat keamanan dan kelompok yang menamakan diri Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat bukanlah kisah baru, melainkan narasi yang berulang. Di balik konflik bersenjata itu, masyarakat sipil Papua yang selalu menjadi korban utama. Pengungsian, kekerasan, pelanggaran HAM, serta rasa takut yang mencekam kehidupan sehari-hari adalah realitas pahit yang tak kunjung usai.

Aksi nasional 4 September memberi ruang untuk melihat ulang betapa Papua tidak pernah keluar dari lingkaran konflik. Setiap kali rakyat Papua menyuarakan aspirasinya melalui jalan damai, mereka seringkali dibalas dengan represi. Ketika mereka mengangkat isu keadilan, mereka dituduh separatis. Ketika mereka menuntut hak dasar, mereka dihadapkan pada barikade aparat. Pola seperti ini memperlihatkan bahwa negara tidak pernah benar-benar membuka ruang dialog yang setara.

Di sinilah kita melihat benang merah yang menyatukan aksi nasional 4 September dengan konflik Papua: keduanya sama-sama memperlihatkan betapa negara gagal mendengar suara rakyatnya. Yang lebih menyedihkan lagi, kegagalan ini tidak hanya berada di level praktik politik, melainkan juga di ranah pemikiran. Indonesia sesungguhnya sedang mengalami apa yang dapat disebut sebagai kemiskinan intelektual.

Kemiskinan intelektual bukan berarti bangsa ini tidak memiliki perguruan tinggi, profesor, atau doktor. Jumlah mereka sangat banyak, bahkan melimpah. Namun, persoalannya bukan pada kuantitas, melainkan kualitas keberanian moral dan ketajaman berpikir. Kaum intelektual yang seharusnya menjadi penuntun bangsa justru banyak yang memilih diam, tenggelam dalam kenyamanan birokrasi atau tersandera kepentingan pragmatis. Mereka sibuk mengejar publikasi ilmiah demi akreditasi dan peringkat internasional, tetapi melupakan jeritan rakyat yang ada di sekitarnya.

Padahal, sejarah bangsa Indonesia menunjukkan bahwa kemerdekaan tidak pernah lahir dari penguasa yang berkuasa, melainkan dari keberanian kaum intelektual, mahasiswa, dan rakyat biasa yang melawan ketidakadilan. Hari ini, justru sebaliknya yang kita saksikan: intelektual lebih banyak berdiam diri, sementara rakyat ditinggalkan sendirian berhadapan dengan kekuasaan yang represif.

Di Papua, kemiskinan intelektual ini terlihat dengan sangat jelas. Konflik yang telah berlangsung lebih dari setengah abad tidak pernah menemukan solusi karena pendekatan yang diambil selalu sama: pendekatan keamanan. Padahal, sudah jelas bahwa masalah Papua tidak bisa diselesaikan hanya dengan peluru dan senjata. Yang dibutuhkan adalah keberanian intelektual untuk mengatakan bahwa Papua memerlukan keadilan, pengakuan, dan dialog. Namun, suara seperti ini sangat jarang terdengar. Kalaupun ada, ia segera dibungkam, dilemahkan, atau dimarjinalkan.

Ironisnya, sebagian intelektual justru ikut melegitimasi kebijakan negara yang diskriminatif terhadap Papua. Mereka menulis opini yang menyalahkan rakyat Papua, melabeli mereka sebagai separatis, atau sekadar menjadi corong propaganda pembangunan tanpa melihat kenyataan di lapangan. Mereka lupa bahwa gelar intelektual yang disandang bukan sekadar hasil kerja keras pribadi, tetapi juga hasil doa orang tua, dukungan masyarakat, dan tanggung jawab moral. Intelektual yang sejati tidak boleh buta terhadap penderitaan rakyatnya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun