Mohon tunggu...
Yuliana Rahmatwati
Yuliana Rahmatwati Mohon Tunggu... -

Seorang musafir yang sedang melakukan perjalanan jauh, mencari sesuatu untuk dibawa pulang kembali.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Konflik dan Kerusakan Lingkungan (Pembangunan Pabrik Semen di Rembang)

4 April 2017   13:02 Diperbarui: 4 April 2017   22:01 55592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Pemberitaan yang dimuat Mongabay.co.id pada tanggal 16 Juni 2014 menyebutkan bahwa penebangan kawasan hutan tidak sesuai dengan persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan. Surat Nomor S. 279/Menhut-II/2013 tertanggal 22 April 2013, dalam surat tersebut menyatakan bahwa kawasan yang diijinkan untuk ditebang adalah kawasan hutan KHP Mantingan. Perlu diketahui dalam Perda no 14 tahun 2011 tentang RTRW Kab. Rembang Kecamatan Bulu tidak diperuntukkan sebagai kawasan industri besar. (Mongabay.co.id, 2014)

Mengacu pada pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat” maka sudah sewajarnya warga Rembang merasa diresahkan dan berujung penolakan atas pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia. Semestinya sumber daya alam dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat bukan melahirkan ketimpangan kepentingan antara pengusaha pabrik dan petani. Dilihat dari kasus – kasus sebelumnya, penambangan dan pembangunan pabrik yang sedemikian rupa dapat mempersempit lahan pertanian lalu menurunkan produktivitas pertanian pada wilayah tersebut hingga bagian terburuknya adalah menyebabkan lemahnya ketahanan pangan daerah dan nasional. Tak hanya masalah lahan, pembangunan proyek tersebut juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan di sekitar, terganggunya keseimbangan ekosistem, hilangnya daerah resapan air, dan pencemaran limbah yang terjadi akibat proses produksi semen. Dalam UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yang artinya masyarakat berhak menolak segala macam tindakan asing yang dapat membahayakan keberlangsungan lingkungan hidup mereka.

Jika dikaitkan dengan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), telah dijelaskan segala hal  tentang tanah termasuk didalamnya ditegaskan bahwa tanah Indonesia adalah seluruhnya untuk kemakmuran bangsa bukan untuk kemakmuran asing. Konflik di Rembang menunjukkan adanya kelalaian serta ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib petani di daerah tersebut. Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dari perseorangan yang bersifat monopoli swasta (UUPA Pasal 13).

Menyikapi konflik tersebut, Komnas HAM sejak Juni 2015 telah membentuk Tim Pemantauan dan Penyelidikan Pemenuhan HAM Masyarakat di Sekitar Kawasan Karst. Tim yang dipimpin oleh Komisioner Muh. Nurkhoiron tersebut hampir menyelesaikan laporannya untuk disampaikan ke Presiden dan pihak-pihak terkait, tentang pelestarian ekosistem karst dan perlindungan HAM. Dalam kajian itu, disimpulkan bahwa Pulau Jawa tidak layak lagi sebagai wilayah untuk penambangan, karena daya dukungnya yang sudah sangat terbatas dan padat oleh penduduk. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah membuat Indeks Kebencanaan di masing-masing kabupatan/kota yang memetakan wilayah rawan bencana di Indonesia khususnya di Pulau Jawa yang rentan oleh berbagai bencana. Pembangunan pabrik semen yang disertai dengan penambangan batu gamping dikhawatirkan akan menambah kerentanan bencana itu.

Selain itu, disampaikan tentang masih lemahnya data tentang dampak pabrik semen bagi kesehatan dan penghidupan masyarakat. Padahal, banyak pabrik semen yang telah beroperasi sejak puluhan tahun, akan tetapi kajian atas dampak-dampaknya, masih belum dilakukan secara komprehensif. Padahal di China, ratusan pabrik semen telah ditutup karena menjadi sumber polutan yang besar dan sangat serius.

Komunikasi Efektif

 Luasnya wilayah Republik Indonesia dengan jenis geografi yang berbeda disetiap wilayahnya, serta budaya yang beragam menjadi satu masalah tersendiri dalam pembangunan, sebab kadangkala suatu program yang direncanakan tidak sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Untuk itu perlu komunikasi yang baik antara masyarakat dengan pemerintah.

Menurut Everett M. Rogers, Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Baik secara lisan maupun tidak langsung secara tulisan melalui media (Onong, 2003;79). Rembang seperti penjelasan di atas adalah memiliki sumberdaya alam yang cukup besar. Tetapi hal ini menjadi dilema masyarakat karena adanya pendirian pabrik semen. Hal ini menjadi masalah karena warga menolak pendirian tersebut. Sehingga, mengakibatkan konflik antara perusahaan, pemerintah dan warga. Adanya konflik menunjukkan perencanaan komunikasi yang dilakukan kurang tepat. Menurut Hamijoyo (2001), adanya konflik dalam aktivitas komunikasi adalah bukti bahwa adanya kemacetan komunikasi. Menurut Effendy (1990), bahwa salah satu komponen komunikasi yang perlu diperhatikan supaya komunikasi efektif adalah saluran atau media komunikasi yang digunakan. Penggunaan media komunikasi tentunya akan mempermudah masyarakat untuk mengerti isi pesan yang disampaikan oleh perusahaan.

Dalam tulisannya, Brulle (2010) mengemukakan bahwa komunikasi harus digunakan untuk meningkatkan keterlibatan publik dalam pembuatan berbagai kebijakan dan opini publik termasuk dalam proses pembangunan infrastruktur. Model komunikasi yang digunakan perusahaan semen dikategorikan ”tidak efektif”. Hal ini disebabkan warga Rembang tidak terlibat atau berpartisipasi dalam proses komunikasi secara langsung berkomunikasi tatap muka dengan komunikator (pemerintah atau perusahaaan) sehingga menimbulkan konflik. Untuk pembangunan yang stategis komunikasi yang efektif sangat diperlukan. Dengan demikian program pembangunan akan berjalan dengan baik tanpa konflik. Disini sebelum melakukan pembangunan maka langkah yang baik adalah terciptanya komunikasi antara warga dengan pemerintah/perusahaan.

Menurut Garret Hardin, istilah konflik lingkungan yang terjadi di Rembang diatas adalah seperti “The Tragedy of the commons”. Tragedy of the commons dimaksud adalah menggambarkan berkurangnya sumber daya alam bersama (commons) karena setiap individu (yang berkepentingan) bertindak secara bebas dan rasional untuk kepentingan diri sendiri tanpa menyadari bahwa berkurangnya sumber daya bersama bertentangan dengan kepentingan kelompok dalam jangka panjang.

Framing dari kemungkinan strategi komunikasi yang dilakukan adalah dengan manajemen krisis yang bersifat dialog. (dalam Loefstedt) PT. Semen Indonesia melalui PT. Semen Gresik pada dasarnya memiliki kewajiban untuk terus melakukan produksi, sehingga sebagai BUMN tidak ikut membebani negara. Capaian sebagai perusahaan multi nasional juga pada dasarnya merupakan prestasi sehingga tidak hanya mampu mencukupi dalam negeri saja melainkan juga mampu masuk dalam pasar internasional. Alasan – alasan rasional ekonomi inilah yang kemudian menjadi alasan kuat kenapa PT. Semen Gresik harus mendirikan tambang baru. Pada dasarnya UU No. 41/1999 menetapkan peraturan penggunaan hutan untuk kepetingan non hutan, tetapi hanya boleh diberikan pada hutan produksi. Kawasan pegunungan karst di Kendeng kemudian melalui peraturan tersebut dapat digunakan sebagai hutan produksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun