Mohon tunggu...
YAYUK SITI KHOTIJAH
YAYUK SITI KHOTIJAH Mohon Tunggu... Education Enthusiast | Mompreneur | Writer

Seorang penulis dan pengamat pendidikan dengan fokus pada perkembangan literasi digital dan media sosial. Menyukai diskusi tentang pendidikan, parenting, keagamaan, teknologi, dan tren sosial. Tertarik untuk berbagi wawasan melalui tulisan yang kritis dan informatif.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membaca Boikot Trans7: Luka Kultural dan Tantangan Literasi Media dari Kacamata Santri

15 Oktober 2025   00:54 Diperbarui: 15 Oktober 2025   01:34 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yayuk Siti Khotijah 

Tagar #BoikotTrans7 yang viral di media sosial pada pertengahan Oktober 2025 bukan sekadar luapan emosi sesaat, melainkan bentuk perlawanan kultural dari kalangan santri terhadap narasi media yang dianggap merendahkan martabat pesantren. Tayangan Xpose Uncensored di Trans7 menampilkan "sisi gelap kehidupan santri" dengan framing yang memancing kontroversi: dari potongan santri jongkok saat minum susu, amplop untuk kiai, hingga tudingan gaya hidup mewah para pengasuh pesantren. Bagi sebagian penonton awam, segmen itu mungkin dianggap sebagai liputan investigatif. Namun bagi santri, tayangan itu adalah bentuk "ghazwul tsaqafi" atau serangan kultural terhadap nilai-nilai kesantrian dan tradisi keilmuan Islam yang luhur.

Pesantren Sebagai Ruang Sakral, Bukan Objek Eksotisme

Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan; ia adalah ekosistem spiritual dan moral yang membentuk karakter bangsa. Di dalamnya ada tatanan nilai yang mengajarkan adab sebelum ilmu, penghormatan kepada guru (ta'dzim lil 'ulama), dan kesederhanaan hidup (zuhud). Sikap santri yang menunduk, menunggu perintah, atau mencium tangan kiai bukanlah simbol penindasan, melainkan wujud tawadhu' - rendah hati di hadapan sumber ilmu dan teladan moral.

Ketika media memotret tradisi itu tanpa memahami konteksnya, yang muncul bukan pencerahan, tetapi eksotisme dan distorsi budaya. Dalam teori komunikasi lintas budaya, kesalahpahaman semacam ini disebut cultural misinterpretation - ketika perilaku suatu kelompok dinilai dengan standar budaya luar yang berbeda.

Kekeliruan Framing Media

Menurut teori framing Entman, media selalu "memilih aspek tertentu dari realitas dan menonjolkannya untuk membentuk persepsi publik." Dalam kasus Trans7, aspek yang ditonjolkan adalah kontradiksi sosial: kemiskinan santri berhadapan dengan "kemewahan kiai." Dengan cara itu, media seolah mengajak publik memandang pesantren melalui kacamata curiga dan ironi.

Padahal, dalam etika jurnalistik, terutama menurut Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS KPI), setiap lembaga penyiaran wajib menampilkan konten berimbang, edukatif, dan tidak menyinggung nilai agama serta budaya masyarakat. Dengan mengabaikan konteks spiritual dan sosial pesantren, tayangan tersebut bukan hanya gagal mendidik, tetapi juga mencederai martabat kultural jutaan santri di Indonesia.

Perlawanan Santri: Dari Pesantren ke Media Sosial

Respons cepat warganet santri terhadap tayangan itu menunjukkan bahwa generasi santri kini tidak lagi pasif. Mereka bukan hanya bisa mengaji, tetapi juga mampu mengontrol wacana publik melalui media digital. Boikot Trans7 menjadi simbol "ijtihad digital", yakni upaya mempertahankan kehormatan pesantren dengan cara modern dan memanfaatkan ruang publik virtual untuk melawan narasi yang bias.

Fenomena ini dapat dibaca melalui teori public counter-framing, di mana kelompok yang terstigma menggunakan narasi tandingan untuk mengoreksi kesalahan representasi. Santri dan alumni pesantren memanfaatkan media sosial untuk menjelaskan bahwa amplop untuk kiai adalah tabarruk (mengharap berkah), bukan korupsi spiritual. Bahwa santri jongkok bukan tanda perbudakan, melainkan bentuk hormat.

Krisis Literasi Media dan Sensitivitas Budaya

Kasus ini menyingkap lemahnya literasi budaya dan etika redaksi di sebagian media nasional. Demi sensasi dan klik, media sering melupakan cultural sensitivity dan etika komunikasi keagamaan. Padahal, dalam konteks masyarakat multikultural seperti Indonesia, kesalahan dalam memahami simbol agama dapat berujung pada krisis kepercayaan publik.

Trans7 memang telah menyampaikan permintaan maaf secara terbuka, namun hal itu tidak otomatis menghapus luka simbolik yang dirasakan warga pesantren. Luka itu muncul karena pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan rumah peradaban, tempat nilai, moral, dan keikhlasan dijaga dengan hormat.

Penutup: Dari Boikot Menuju Dialog

Gerakan boikot hanyalah ekspresi awal dari kegelisahan santri. Namun solusi sejatinya terletak pada dialog dan rekonsiliasi kultural antara media dan komunitas pesantren. Media perlu belajar mendekati pesantren bukan dengan logika sensasi, melainkan dengan semangat edukasi dan empati.

Sementara santri harus terus memperkuat literasi media Islam, agar mampu berpartisipasi aktif dalam ruang publik tanpa kehilangan akarnya. Seperti pesan Kiai Hasyim Asy'ari, "Santri iku kudu nglawan ora nganggo ngasorake", santri harus melawan ketidakadilan, tapi tanpa merendahkan siapa pun.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun