Krisis Literasi Media dan Sensitivitas Budaya
Kasus ini menyingkap lemahnya literasi budaya dan etika redaksi di sebagian media nasional. Demi sensasi dan klik, media sering melupakan cultural sensitivity dan etika komunikasi keagamaan. Padahal, dalam konteks masyarakat multikultural seperti Indonesia, kesalahan dalam memahami simbol agama dapat berujung pada krisis kepercayaan publik.
Trans7 memang telah menyampaikan permintaan maaf secara terbuka, namun hal itu tidak otomatis menghapus luka simbolik yang dirasakan warga pesantren. Luka itu muncul karena pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan rumah peradaban, tempat nilai, moral, dan keikhlasan dijaga dengan hormat.
Penutup: Dari Boikot Menuju Dialog
Gerakan boikot hanyalah ekspresi awal dari kegelisahan santri. Namun solusi sejatinya terletak pada dialog dan rekonsiliasi kultural antara media dan komunitas pesantren. Media perlu belajar mendekati pesantren bukan dengan logika sensasi, melainkan dengan semangat edukasi dan empati.
Sementara santri harus terus memperkuat literasi media Islam, agar mampu berpartisipasi aktif dalam ruang publik tanpa kehilangan akarnya. Seperti pesan Kiai Hasyim Asy'ari, "Santri iku kudu nglawan ora nganggo ngasorake", santri harus melawan ketidakadilan, tapi tanpa merendahkan siapa pun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI