Mohon tunggu...
Yayah AuliyatulFaizah
Yayah AuliyatulFaizah Mohon Tunggu... Menyukai seni budaya

Sedang belajar dan berusaha untuk lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Diary

Menanggung Tanggungan yang Menanggung

22 Maret 2025   23:38 Diperbarui: 22 Maret 2025   23:51 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Kisaran medio 2012-2013, saya berkenalan dan berkawan lumayan akrab dengan sesama pelajar dari kota sebelah. Kawan saya ini sekilas terlihat biasa-biasa saja, basic keluarganya yang bukan berasal dari kaum agamawan murni membuatnya terlihat kurang mendalami soal agama. Kawan saya ini tertatih-tatih kalau soal membaca huruf Arab, meski ia sendiri pernah mengenyam pendidikan di sekolah Islam favorit. Ia bercerita pada saya, kalau ia memang tidak bisa fasih dan lancar mengucapkan huruf Hijaiyah atau kosa kata berbahasa Arab, karena kedua orangtuanya tidak pernah mengajarkan hal itu. Jadi bisa dibilang, kawan saya ini benar-benar belajar dari nol soal agama Islam, berbeda dengan kawan-kawan saya yang lain, yang memang dari kecil sudah akrab dengan huruf-huruf Hijaiyah yang diajarkan di TPQ (Taman Pendidikan Qur'an) dekat rumah mereka.

Saya sendiri tidak begitu fanatik dengan suatu ajaran apapun, meski saya sendiri meyakini satu ajaran yang (meskipun) diajarkan oleh orang tua saya sejak lahir, saya menganggap keyakinan saya bukan warisan, karena sejak saya mulai bisa berpikir, saya sadar bahwa saya memilih ajaran ini berdasarkan keyakinan dan kedamaian, bukan karena paksaan apalagi ikut-ikutan.

Nah, kembali pada cerita tentang kawan saya.

Sudah menjadi kebiasaan kami yang tinggal di asrama pesantren, kalau kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung hingga tengah malam. Waktu itu pukul setengah dua belas malam dan saya baru saja keluar dari ruangan kelas bersama kawan saya. Udara malam itu begitu dingin menusuk, sementara di langit bintang-gemintang berkelap-kelip begitu indah menghiasi mayapada dengan gemerlap cahaya. Saya belum menunaikan shalat Isya' karena kelas saya dimulai sejak habis Maghrib, begitu juga dengan kawan saya, ia pun belum menunaikan kewajiban shalat Isya'.

Selepas meletakkan buku di rak, kawan saya itu bergegas mengambil air wudhu dan mukena, untuk kemudian menunaikan shalat Isya'. Sementara saya masih tetap bergeming di dalam kamar sembari memeluk bantal, enggan rasanya beranjak untuk turut serta mengambil air wudhu dan menunaikan shalat Isya', karena waktu itu Masya Allah...betapa udara dingin terasa menggigit dan menusuk hingga ke tulang sum-sum, dekapan selimut dan bantal yang empuk pun terasa lebih menarik daripada panggilan untuk menunaikan shalat Isya'. Tapi yang bikin saya kagum, sedingin dan secapek apapun setelah belajar, kawan saya itu selalu konsisten melaksanakan ibadah shalat Isya' tepat sepulang dari kelas. Kalau sudah selesai shalat, barulah kawan saya itu melakukan aktivitas lain seperti makan malam atau tidur.

Iseng saya pun bertanya padanya, "Kenapa kamu tidak melaksanakan shalat Isya' nanti pas sekalian tahajud? Kenapa kamu tidak langsung tidur dan menunda shalatmu nanti malam? Bukankah kita pasti bakal bangun nanti malam karena wajib tahajud?"

Mendengar pertanyaanku, kawanku itu terlihat agak terkejut. Sembari melipat mukena ia menjawab, "Aku khawatir aku tidak bisa bangun nanti malam. Kalau tidak segera melaksanakan shalat, aku takut tiba-tiba aku meninggal dunia di tengah tidurku, sementara orang lain tidak ada yang tahu kalau aku masih punya tanggungan belum melaksanakan shalat Isya'."

Aku ingin kelak jika tiba waktunya kembali, aku sudah dalam keadaan tidak punya tanggungan yang harus ku tanggung, termasuk tanggungan hutang shalat yang belum ditunaikan.

Bukankah shalat itu kewajiban, yang notabenenya adalah kebutuhan kita?

Sebagai hamba, kita butuh komunikasi dengan Pencipta kita, dan shalat itulah salah satu media (ibadah) supaya kita tetap terhubung dengan-Nya. Dan supaya kita tetap berada dalam track yang benar, kita butuh bimbingan beserta petunjuk-Nya melalui shalat 

Aku merasa shalat itu kebutuhanku, bukan semata kewajiban yang harus ku tanggung. Makanya ketika tiba waktu shalat, aku segera bergegas menunaikannya, semampuku. Karena moment saat shalat lah, satu-satunya momen aku benar-benar merasa dekat dan menghadap langsung pada Penciptaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun