Jarum jam di dinding baru saja bergeser melewati angka sembilan. Di sudut ruang makan, di antara piring-piring sisa makan malam, seorang bocah kelas empat SD tengah berjuang menelan tangis. Napasnya tertahan, bahunya sedikit bergetar. Di hadapannya, buku matematika terbuka, menampilkan deretan soal pembagian yang seolah menjadi monster tak terkalahkan.
Di sampingnya, seorang ibu duduk dengan sisa-sisa energi terakhirnya. Aroma lelah setelah berjibaku dengan kemacetan dan tenggat waktu di kantor masih menempel. "Ini kan sudah Ibu jelaskan tadi! Kenapa masih salah juga?" Sebuah sentakan lolos dari bibirnya, lebih didorong oleh rasa letih ketimbang amarah.
Sang anak semakin menunduk. Malam itu, meja makan kembali menjadi medan perang mini. Pekerjaan Rumah (PR) sekali lagi menjadi pemicu drama, bukan jembatan ilmu.
Pemandangan getir ini, sayangnya, adalah potret yang terlalu akrab di ribuan rumah tangga kita. Sebuah ritual malam yang menguras emosi, di mana kita telah salah memaknai hakikat PR. Kita terjebak dalam paradigma usang: bahwa PR adalah beban akademis yang diekspor dari sekolah ke rumah, dan orang tua adalah mandor dadakan yang tugasnya hanya satu---memastikan tugas itu selesai.
Kini, dalam rangka menyiapkan diri agar Siap Hadapi Tantangan Abad 21, sudah saatnya kita membongkar dan merakit ulang makna tersebut. Saatnya menggeser bingkai, dari 'Pekerjaan Rumah' yang membebani, menjadi 'Proyek Relasi' yang justru menghangatkan dan menguatkan.
Saat Meja Belajar Menjadi Medan Perang: Membongkar Salah Kaprah 'Pekerjaan Rumah'
Mari kita tatap kenyataan dengan jujur. Model PR yang selama ini kita jalankan lebih sering berfokus pada kepatuhan semu ketimbang pemahaman sejati. Target utamanya sederhana: "yang penting selesai," "yang penting besok dikumpulkan."
Akibatnya, proses belajar di rumah sering kali menjadi menegangkan. Ia diwarnai paksaan, dihiasi ancaman, dan perlahan tapi pasti, mengikis percikan rasa ingin tahu anak. Orang tua, dalam kelelahannya, tanpa sadar bertransformasi dari figur pendukung menjadi penagih tugas. Anak pun melihat orang tuanya bukan sebagai sekutu dalam petualangan belajar, melainkan perpanjangan tangan guru yang menuntut.
Hubungan pun perlahan merenggang, satu soal matematika pada satu waktu. Inilah alasan mengapa transformasi PR menjadi 'Proyek Relasi' begitu mendesak.
Memperkenalkan 'Proyek Relasi': Menggeser Fokus dari Hasil ke Proses