Sambil memasang muka masam, gadis itu berjalan menuju kamar mandi. Dia sengaja menutup pintu dengan keras, hingga Bagus yang melihat tingkahnya tergelak. Bagus tidak menyangka saja, jika reaksi Utari benar-benar membuat dirinya bisa tertawa lepas sepagi itu.
Dia mulai memikirkan beberapa ide nakal. Mulai sekarang, mungkin dia akan lebih sering menggoda Utari, terutama dengan kecupan-kecupan ringan. Bibir gadis itu terasa sangat manis.
Terus terang saja, tadi dia sudah hampir lepas kontrol. Sayang, dia memang harus lebih menahan diri lagi agar tidak melewati batas. Dia tahu, akan membutuhkan waktu sangat banyak bagi mereka untuk saling menyesuaikan diri. Utari menyenangkan, namun itu saja tidak cukup dalam membina sebuah rumah tangga.
Hati Bagus tidak pernah terisi dengan wanita lain. Utari hanya satu-satunya. Hanya saja perkenalan singkat itu, terasa masih canggung. Utari terlihat masih enggan di dekati, meski dirinya sudah berusaha dengan segala cara. Sebagai pria berumur, tentu saja stok kesabarannya jauh lebih banyak. Menyerah sebelum berperang, tidak pernah ada dalam kamus kehidupan seorang Bagus Pandhita.
"Kita pulang saja, ya." Utari sedikit merengek ketika sudah tengah hari, namun mereka belum juga beranjak dari kamar.
"Tapi jatah menginap kita masih dua malam lagi. Jika lapar, pesan saja sesuatu." Bagus Pandhita tampak sibuk dengan laptop di meja sofa. Meski cuti beberapa hari, sepertinya dia masih saja mengurus pekerjaan.
Namun hal itu baik bagi Utari. Karena interaksi intens mereka, jadi banyak berkurang. Utari belum siap, jika Bagus mengingatkannya lagi akan peristiwa tadi pagi. Jika Bagus sibuk dengan laptop, maka Utari sibuk dengan ponsel. Namun dia sudah bosan setengah hari hanya tiduran dan melihat sosial media.
"Kenapa kita tidak langsung menuju rumah saja? Kenapa harus ada acara menginap di sini segala?"
Bagus mendongak sejenak, melihat Utari yang berguling-guling tidak jelas di atas kasur. Rambut gadis itu begitu berantakan, begitu juga dengan pakaian yang dikenakan. Bagus harus menahan diri, agar tidak mendatangi dan merenggut kepolosan gadis itu.
Dia mulai berpikir jika dirinya adalah pria paling munafik. Di mulut dia bisa berkata jika dirinya masih tidak menginginkan Utari. Padahal mata dan hatinya sudah sinkron, bahwa Utari adalah makhluk yang sangat indah. Hanya orang bodoh saja, yang menyia-nyiakan kesempatan dengan hanya diam seperti dirinya.
"Kamu boleh jalan-jalan ke luar. Tidak ada yang menahanmu untuk tetap bertahan di kamar, seharian ini."