Bagus terdengar berdehem sejenak, "Aku sengaja tidak pernah menyambangi kantormu, berharap kamu bisa menumpuk rindu itu kepadaku. Tapi aku pikir, usahaku ternyata sia-sia. Jadi mungkin setelah aku kembali, aku akan langsung mengumumkan acara pernikahan mereka."
"Apa?" teriak Utari sampai terbangun dari posisi berbaring nyamannya. Bagus juga sampai menjauhkan ponsel ketika suara Utari seperti mau memecahkan gendang telinganya, "jangan coba-coba, dan jangan berani-berani Kangmas---eh, Bapak melakukan itu!"
Bagus Pandhita merasakan darahnya berdesir dengan panggilan itu. Mulanya dia hanya ingin menggoda Utari, namun siapa sangka jika gadis itu menuruti perkataan sang Ibu. Pria itu memejamkan mata, merasakan hatinya yang menghangat setelah sudah entah berapa tahun terakhir dia jatuh cinta.
Dia tidak ingin lagi merasakan sakit karena harus kehilangan. Meski hatinya belum sepenuhnya menerima kehadiran Utari, namun dia sedang berusaha. Utari sangat cantik dan polos, terlihat mudah untuk mencintai sosoknya.
"Apa tadi kamu memanggilku dengan sebutan keramat itu?"
"Oh! Saya rasa Bapak salah dengar." Utari menepuk jidatnya keras, karena sudah terlalu cepat bereaksi.
"Tidak apa-apa jika sekarang kamu tidak mengakui. Karena masih banyak sekali waktu untukku mendengarmu memanggil dengan sebutan itu."
"Itu---itu tadi, ehm, Ibu yang menyuruh saya membiasakannya." Utari akhirnya memilih untuk mengaku daripada harus menjadi bahan ledekan.
"Terima kasih karena sudah mau mengunjungi rumah. Setelah menikah, aku ingin kita tinggal di sana."
"Itu---itu bisa kita bicarakan nanti."
"Apa kamu merasa keberatan?"