Saya pernah mengira era Superman sudah selesai. Sudah cukup kita melihat sosok berjubah merah biru itu menyelamatkan dunia, mengangkat gedung, dan menatap langit seperti nabi urban. Tapi Superman (2025) di tangan James Gunn bukan hanya membuat saya menoleh lagi---saya terpaku. Bukan karena efek CGI atau pertarungan dahsyatnya. Tapi karena Gunn memberi kita sesuatu yang selama ini hilang: jiwa.
Superman ini bukan Clark Kent yang kita kenal sepenuhnya. Dia tetap anak petani Kansas, masih canggung di ruang redaksi, dan tentu masih bingung bagaimana menjadi manusia biasa. Tapi di film ini, dia juga menjadi jembatan antara harapan dan keraguan. Dan Gunn memposisikannya bukan sebagai pahlawan penyelamat terakhir melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar, lebih rumit, dan lebih manusiawi.
Saya merasa film ini seperti huruf kapital di paragraf pertama dari bab baru DC Universe. Tapi James Gunn tidak membuatnya seperti daftar isi. Dia menulisnya seperti puisi. Kadang meledak, kadang sunyi. Kadang membuat kita percaya lagi pada keadilan, kadang justru mempertanyakan, siapa sebenarnya yang layak disebut pahlawan?
Visi ini terasa jelas sejak adegan awal. Gunn tidak terburu-buru. Dia memperkenalkan Clark Kent sebagai pria yang mencoba hidup tenang, tapi tak bisa benar-benar melepaskan identitasnya. Bukan karena dia sombong, tapi karena dunia terus-menerus meminta penyelamatan. Saya pun bertanya-tanya: di dunia sekarang, apakah kita masih pantas diselamatkan?
Saya kira Gunn juga bertanya hal yang sama saat menulis naskahnya. Ada banyak momen reflektif dalam film. Superman berdialog bukan hanya dengan orang di sekitarnya, tapi dengan dirinya sendiri. Dan di sanalah Gunn bermain cerdas. Ia tidak menampilkan Superman sebagai dewa. Ia membuatnya retak sedikit. Penuh keraguan. Tapi justru karena itu, ia jadi lebih nyata.
Dan saya harus akui, saya sempat skeptis. Superman adalah karakter yang sulit ditulis. Terlalu kuat, terlalu mulia. Tapi Gunn menulis ulang mitos ini tanpa kehilangan pondasinya. Ia membuat Superman kembali relevan. Bahkan lebih dari itu, ia membuat kita bertanya ulang: jika kamu bisa melakukan apa saja, apa yang sebenarnya akan kamu pilih?
Gaya visual film ini juga khas Gunn. Ada gaya penceritaan yang terasa lugas namun eksentrik. Musiknya tidak mencoba mengulang-ulang nostalgia, tapi memilih beat baru. Penuh risiko. Tapi berhasil. Film ini bukan museum bagi Superman lama, melainkan laboratorium bagi Superman yang baru.
Ada satu adegan yang sampai sekarang masih menempel di kepala saya ketika Clark berada di tengah kerusakan besar dan memilih untuk tidak membalas. Kamera menyorot matanya. Tidak ada musik bombastis, hanya napas berat dan tatapan kosong. Di situ, Gunn berbicara tanpa kata. Ia ingin penonton bertanya, apa makna kekuatan tanpa kebijaksanaan?
Saya merasa film ini bukan hanya tentang Superman. Tapi juga tentang kita. Tentang dunia yang terlalu cepat kehilangan keyakinan pada kebaikan. Tentang rasa frustrasi pada sistem yang rusak. Dan Gunn tidak menjawab semuanya. Ia hanya menunjukkan bahwa di tengah kekacauan, kadang kita hanya butuh satu sosok yang tidak menyerah.
Tapi jangan salah, film ini tetap seru. Tetap ada ledakan, tetap ada pesawat jatuh dan gedung runtuh. Tapi itu bukan intinya. Intinya adalah apa yang dipilih Superman untuk tidak lakukan. Itu yang membedakan dia dari semua karakter lain yang pernah kita lihat di layar lebar.
James Gunn juga tidak terjebak untuk membuat Superman sempurna. Ia membuatnya cukup keliru, cukup goyah, cukup manusia untuk dicintai ulang. Bahkan saya merasa, film ini bukan sekadar reboot, tapi semacam permintaan maaf. Seolah Gunn berkata: "Kami tahu kami salah menulis Superman selama ini. Ini versi yang layak kamu percaya."