Safa menatap langit sore dari jendela kamarnya. Angin berhembus pelan, membawa aroma khas pergantian musim. Hatinya berdebar, bukan karena ketakutan, tetapi karena sebuah perasaan yang sulit ia ungkapkan. Ramadhan akan segera tiba.
"Marwah, kamu sudah mulai persiapan?" tanya Safa saat melihat saudara kembarnya masuk ke kamar.
Marwah menghela napas panjang, lalu menjatuhkan dirinya di kasur. "Persiapan apa? Kita puasa seperti biasa, kan?"
Safa menggeleng pelan. "Bukan sekadar puasa, Marwah. Kita menyambut tamu yang mulia. Bukankah kita harus mempersiapkan diri sebaik mungkin?"
Marwah menatap langit-langit kamar. "Tamu? Maksudmu Ramadhan?"
Safa tersenyum. "Ya. Seperti kalau kita mau kedatangan tamu istimewa, pasti kita bersiap. Kita membersihkan rumah, menyiapkan makanan terbaik, dan berpenampilan rapi. Kenapa saat Ramadhan datang, kita tidak melakukan hal yang sama?"
Marwah mengangkat kepalanya. "Aku paham maksudmu. Tapi... harus mulai dari mana?"
Safa menatap adiknya dengan penuh semangat. "Dari hati, Marwah. Kita niatkan untuk memperbaiki diri. Kita latih lisan agar tidak mudah mengucapkan hal sia-sia. Kita jaga pandangan dan pendengaran agar tak tergoda oleh hal yang melenakan. Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tapi juga mengendalikan diri."
Marwah terdiam. Ada sesuatu dalam kata-kata Safa yang menyentuhnya. "Tapi kadang sulit, Safa. Apalagi kita masih sibuk dengan tugas kampus dan media sosial."
Safa mengangguk. "Aku tahu. Tapi kalau kita tidak mulai belajar sekarang, kapan lagi? Ramadhan datang setahun sekali. Kalau kita tidak menyambutnya dengan persiapan, kita mungkin akan melewatinya begitu saja tanpa mendapatkan manfaatnya."
Marwah tersenyum tipis. "Baiklah, aku mau mencoba. Kita mulai dari hal kecil, ya? Mungkin dari mengurangi waktu scroll media sosial dan memperbanyak membaca Al-Qur'an?"