Mohon tunggu...
Yaslis Ilyas
Yaslis Ilyas Mohon Tunggu... profesional -

DR. Yaslis Ilyas, DRG. MPH. HIA. MHP. AAK; CEO Yaslis Institute; Pendiri: Perhimpunan Ahli Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia & Lembaga Anti Fraud \r\nAsuransi Indonesia\r\nE-mail:yaslisilyas@gmail.com; yaslisintitute@gmail.com; \r\nwww.yaslisinstitute.org\r\nPendidikan:\r\n1977 Dokter Gigi, F.K.G, Universitas Indonesia\r\n1984 Master of Public Health, School of Public Health, University of North Carolina at Chapel Hill, USA.\r\n1995 School of Public Health, University of California, Berkeley, USA.\r\n1998 DR.PH, Pascasarjana Universitas Indonesia.\r\n2000 MHP dan HIA, Health Insurance Association of America\r\n

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kenapa Operasional BPJS Kalut?

19 Mei 2014   14:40 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:22 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pada tanggal 05, April, 2014, saya menulis artikel dengan judul : BPJS Cacat Kongenital? Yang membahas tentang cacatnya struktur dan fungsi BPJS. Tampaknya, struktur BPJS hanya dibuat agar menampung sejumlah jabatan direktur PT ASKES plus 1 jabatan direktur Jaminan Kesehatan PT JAMSOSTEK. Tampak jelas bagi2 jabatan agar sana senang dan sini senang. Selengkapnya silahkan baca pada: http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2014/04/05/bpjs-cacat-kongenital-644941.html. Kali ini, penulis ingin share keprihatinan terhadap kalutnya operasional BPJS. Keluhan terhadap BPJS sudah banyak dikemukan oleh peserta dan PPK. Sampai-sampai ada pihak yang mengatakan bubarkan saja BPJS. Sebenarnya, apa yang salah dengan BPJS?
Bagaimana Operasional BPJS?
BPJS adalah badan wali amanat yang bersifat sosial dan tidak mencari profit. Sebagai pengelola asuransi kesehatan sosial BPJS mengadopsi konsep Managed Care. Konsep ini mengintegrasikan fungsi pelayanan kesehatan dengan fungsi keuangan pada satu tangan atau badan. Dengan demikian, BPJS mempunyai bargaining power yang besar untuk mengontrol bisnis asuransi kesehatan sosial. Dengan konsep Managed Care, BPJS diharapkan mampu mengontrol mutu pelayanan kesehatan pada tingkat harga yang wajar. Dengan demikian, harga pelayanan kesehatan akan lebih murah karena pembelian dalam volume yang sangat besar. Hal ini mempunyai rantai efek terhadap harga obat, bahan medis habis pakai dan alat kesehatan menjadi jauh lebih murah. Untuk melaksanakan fungsi pelayanan kesehatan BPJS melakukan kontrak kerja dengan PPK (puskemas, praktek dokter, klinik dan RS) dengan menentukan paket pelayanan dan tarif atau harga yang disepakati kedua pihak.
Pada fungsi keuangan BPJS harus mengelola keuangan sesuai dengan undang2 dan peraturan yang berlaku. BPJS wajib mengelola keuangan secara berhati2 dengan menghitung semua resiko yang mungkin dapat terjadi. BPJS berlaku sebagai risk taker bila kemungkinan terjadi kerugian karena biaya pelayanan kesehatan dan administrasi serta pegawai lebih tinggi dari penerimaan premi . Untuk mencegah itu, BPJS melakukan penilaian dan mencegah risiko keuangan yang mungkin terjadi. Oleh karena itu, BPJS menggunakan prospective payment untuk jasa yang diberikan PPK kepada peserta. Untuk rawat jalan dibayar, PPK dibayar dengan sistem kapitasi, sedangkan untuk rawat inap dibayar dengan sistem paket yang dikenal sebagai INA CBG. Dengan menerapkan sistem ini, BPJS akan dapat memperkirakan budget untuk pelayanan kesehatan peserta dengan baik. Sistem pembayaran ini membuat PPK juga ikut menjadi risk taker sehingga PPK akan memberikan pelayanan yang pas kebutuhan medis dan bermutu. Sistem pembayaran kapitasi dan paket INA CBG tentunya lebih efisien dan dapat mencegah terjadinya pemborosan biaya pelayanan kesehatan.
Apakah Kapitasi itu?
Adalah sebuah konsep atau system pembayaran propektif yang biasanya diterapkan untuk PPK rawat jalan (puskemas & Praktek dokter). Besar pembayaran PPK berdasarkan jumlah orang (capita) yang menjadi kewajiban PPK yang dikontrak dengan tingkat harga per kapita yang disepakati. Kemudian, PPK akan menerima pembayaran dimuka (prepaid) dalam jumlah yang tetap, tanpa memperhatikan jumlah kunjungan, pemeriksaan, tindakan, obat dan pelayanan medis lainnya yang diberikan oleh PPK tersebut. Contoh: bila puskesmas dikontrak untuk melayani 5000 peserta dengan harga kapitasi Rp 6000 per bulan; maka puskemas akan dibayar Rp 30 juta perbulan.

Apakah sistem INA Classified Based Group ( INA CBG) itu?

Adalah sistem pembayaran berdasarkan kelompok diagnosa penyakit. Tarif INA-CBG merupakan tarif paket pelayanan rawat inap dan rawat jalan yang meliputi jasa pelayanan medis dan non-medis, prosedur/ tindakan, obat/ bahan medis habis pakai, pemeriksaan penunjang serta ruang perawatan yang diberikan kepada seorang pasien selama satu episode perawatan. INA CBG sebenarnya mengadopsi sistem Diagnosis Related Group yaitu suatu paket pembayaran jasa pelayanan kesehatan yang ditetapkan berdasar pengelompokan diagnosa, tanpa memperhatikan jumlah tindakan atau pelayanan yang diberikan. Konsep ini, pada awalnya dikembangkan di AS pada peserta program Medicare dan Medicaid, melalui suatu studi yang diselenggarakan oleh "Yale University" (1984). Tujuan penerapan DRGs adalah untuk upaya pengendalian biaya dan menjaga mutu pelayanan. Dengan tarif INA CBG, BPJS dan PPK sepakat untuk memberikan pelayanan medis kepada peserta sesuai kebutuhan medis.

Kenapa Operasional BPJS Kalut?
Dengan mandat Undang2 dan peraturan pemerintah yang kuat mestinya BPJS dapat berjalan dengan baik. Pada kenyataanya, BPJS tidak berkerja seperti yang diharapkan oleh sistem managed care. BPJS tidak mampu untuk mengintegrasikan fungsi pelayanan kesehatan dan fungsi keuangan sehingga menjadi kalut. Memang betul BPJS mengelola dana peserta yang sangat besar, tapi fungsinya hanya sekedar kasir belaka. BPJS tidak punya otoritas untuk menentukan tarif kapitasi dan INA CBG, semuanya ditentukan oleh National Casemix Center Kemenkes RI. BPJS tidak bisa menegosiasikan tarif dengan PPK yang akan dikontrak oleh BPJS. Dilain pihak, BPJS merasa nyaman dan berlindung pada kondisi anomali ini. Bila terjadi konflik soal tarif INA CBG dengan RS, BPJS berkilah kita hanya melaksanakan perintah regulator. Sebagai contoh: RSUD Serang, Provinsi Banten, menurut Pemprov Banten RS ini adalah RSUP Type B sesuai dengan persyaratan SDM, alkes dan fasilitas RS yang ditetapkan oleh Kemenkes. Oleh karena, SK Menkes belum turun; BPJS hanya membayar RSUD ini dengan kelas RS Type D alias Puskesmas dengan perawatan. Tentu saja, kesenjangan tarif RSUD dengan Tarif INA CBG menimbulkan kerugian besar pada pihak RSUD. Hal ini menimbulkan konflik antara RSUD dengan BPJS yang berakibat terhadap pengabaian hak peserta. Pada akhirnya, yang dirugikan pastilah peserta yang tidak mendapatkan pelayanan sesuai yang dijanjikan BPJS.
Pada kasus kapitasi dengan puskesmas; pembayaran kapitasi tidak diterima langsung oleh puskesmas untuk meningkatkan pendapatan SDM , mutu alkes dan obat. Hampir semua Puskesmas, pendapatan harus disetor ke kas Pemda baru kemudian dapat digunakan melalui proses administrasi keuangan pemda. Tentunya, tidak semua dana kapitasi turun ke puskesmas, menurut informasi hanya sekitar 45% sd 55% dana yang turun ke puskesmas. Disamping itu, puskesmas terikat pada aturan tarif Perda yang sangat murah (gratis atau Rp 2000/visit, lebih murah dari bayar parkir) sehingga pendapatan Puskesmas menjadi sangat terbatas sehingga tidak dapat memberi imbalan yang layak ke SDM puskesmas. SDM puskemas motivasi kerja rendah ,sedangkan beban kerja meningkat, tapi imbalan tetap aja. Hal ini, berakibat puskesmas cenderung memberikan pelayanan seadanya dan memberi saja rujukan yang diminta peserta. Inilah yang menyebabkan sistem Kapitasi tidak bekerja dengan seharusnya. Kondisi inilah yang membuat operasional BPJS kesehatan jadi carut marut. BPJS tidak mampu mengintegrasikan fungsi keuangan dan pelayanan kesehatan. BPJS tidak dapat menjamin mutu pelayanan kepada peserta yang telah membayar premi sesuai janji BPJS. Hal ini disebabkan BPJS juga tidak punya kemampuan dan nyali untuk mengelola PPK sesuai dengan kontrak apalagi menegornya.
Bagaimana solusinya?
Pertama, pada tatanan kebijakan, perlu dilakukan review menyeluruh terhadap UU, Perpres, Permenkes dan perda yang menghambat dan menolak operasional sistem managed care pada BPJS . Khusus untuk UU NO 24 tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan dan Perpres no: 111/ tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No: 12/tahun 2013 tentang jaminan Kesehatan perlu direview ulang dengan seksama. Harus dipilah dan dibuang dan diganti pasal2 yang bertentangan dengan operasionalisasi sistem managed care BPJS. Hal yang sama juga perlu dilakukan review terhadap Permenkes dan Perda yang menimbulkan anomali operasional BPJS. Kedua, National Casemix Center dan formularium obat nasional seharus berkerja dibawah administrasi BPJS Kesehatan (bukan Kemenkes) sehingga dapat berkerja lebih fokus untuk kepentingan peserta, PPK, dan BPJS. Ketiga, BPJS harus mereview dan merevisi struktur dan fungsi BPJS dan sesuaikan dengan kepentingan JKN. Struktur BPJS harus ramping, kaya fungsi dan fokus untuk selesaikan masalah operasional kaitan dengan peserta dan PPK. Keempat, BPJS harus meningkatkan mutu sdm terutama personel verifikasi, provider relation, perlindungan peserta , teknologi informatika dan tenaga pada unit2 operasional yang berkerja langsung pada kepentingan peserta dan PPK. Terakhir, BPJS harus mengembangkan juknis & juklak untuk setiap fungsi BPJS kaitannya dengan dana, peserta, PPK serta asuransi komersial lainnya. Rasanya, kalau semua dilakukan segera dan bertahap. JKN dapat jadi legenda Indonesia hebaaat!


Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun