Di dunia yang serba cepat dan penuh tekanan sosial seperti sekarang, kita sering merasa punya hak untuk menilai orang lain hanya berdasarkan apa yang terlihat. Kita lihat satu sisi dari seseorang, lalu langsung membuat kesimpulan seolah-olah kita tahu isi hidupnya.
Padahal, kalau kita renungkan baik-baik, kita sebenarnya hanya sedang memuaskan ego kita sendiri. Menilai orang lain secara cepat memang memberi rasa puas sesaat---seolah kita lebih tahu, lebih benar, atau lebih baik. Tapi faktanya, yang kita nilai itu seringkali tidak utuh. Kita hanya melihat permukaan, lalu menghakimi seluruh isinya.
Mari kita bahas lebih dalam kenapa menilai orang lain dari luar itu bukan hanya tidak adil, tapi juga bisa merugikan secara sosial dan manusiawi.
Kita Tidak Pernah Tahu Apa yang Seseorang Hadapi
Ambil satu contoh yang sering terjadi: seseorang yang sudah lama tidak bekerja. Di mata sebagian orang, dia langsung dicap malas, tidak niat sukses, terlalu pilih-pilih kerja, dan sebagainya. Bahkan kadang, komentar seperti itu datang dari orang terdekatnya sendiri: keluarga, tetangga, atau teman.
Padahal tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya sedang ia perjuangkan. Mungkin dia pernah trauma karena lingkungan kerja sebelumnya, mungkin dia sedang merawat anggota keluarga yang sakit, atau sedang dalam masa pemulihan kesehatan mentalnya. Tidak semua orang mampu menceritakan luka mereka, dan tidak semua perjuangan layak diumumkan ke publik.
Seringkali kita hanya melihat diamnya seseorang, lalu menyimpulkan bahwa ia tidak berbuat apa-apa. Padahal bisa jadi ia sedang berjuang mati-matian agar tetap waras. Perjuangan hidup tidak selalu terlihat dari produktivitas kasat mata.
Kita juga tidak tahu alasan seseorang menolak permintaan tolong, tidak ikut patungan, atau bahkan tidak memberi pinjaman uang. Tapi karena mereka menolak, dengan mudah kita melabelinya sebagai orang pelit, perhitungan, atau tidak punya solidaritas.
Kita lupa bahwa setiap orang punya tanggung jawab pribadi yang tidak kita ketahui. Bisa jadi dia sedang menabung untuk biaya pengobatan orang tua, untuk masa depan anak, atau sekadar menjaga batas aman finansialnya agar tidak jatuh di kemudian hari. Tapi hanya karena dia tidak menjelaskan, bukan berarti kita bebas menilainya secara sepihak.
Apa yang terlihat sederhana bagi kita, bisa jadi sangat berat bagi orang lain. Dan sebaliknya, sesuatu yang tampak "tidak masuk akal" bagi kita, mungkin adalah satu-satunya pilihan yang mereka miliki.
Label Sosial: Menghakimi dengan Modal Sedikit Informasi
Lebih dari itu, penilaian sosial juga sering terjadi dalam konteks keyakinan dan golongan. Seseorang bisa dianggap sesat, tidak layak didengar, atau bahkan dimusuhi hanya karena ia berasal dari kelompok agama atau pemahaman yang berbeda.
Padahal kita tidak tahu bagaimana proses spiritual orang itu. Bisa jadi ia sedang belajar, sedang mencari jawaban, atau bahkan pernah dikecewakan oleh sesuatu yang membuatnya menjauh sejenak. Tapi karena dia "tidak sama" dengan kita, maka kita dengan mudah memosisikannya sebagai yang salah.
Kita terlalu sering memaksakan ukuran kebenaran dari sudut kita sendiri, seolah apa yang kita yakini adalah satu-satunya jalan yang sah. Padahal setiap manusia punya jalur pencarian yang tidak selalu bisa dipahami dalam waktu singkat. Dan lebih penting lagi, tidak semua hal harus dihakimi dari tampilan luar.
Menjadi manusia itu berarti punya kemampuan berpikir luas, memahami bahwa tidak semua hal bisa dikotak-kotakkan secara hitam putih. Tapi ketika kita mulai memberi label hanya dari sedikit informasi, di situlah kita kehilangan akal sehat dan empati.
Menahan Diri Adalah Wujud Kedewasaan
Dalam hidup, sering kali diam lebih bijak daripada berbicara. Bukan berarti kita tidak peduli, tapi karena kita sadar bahwa tidak semua hal pantas untuk dikomentari, apalagi dihakimi.
Menahan diri untuk tidak mengomentari hidup orang lain bukan kelemahan, tapi justru tanda bahwa kita mulai dewasa. Kita belajar bahwa empati bukan tentang memahami semua orang secara detail, tapi cukup dengan menyadari: "Saya tidak tahu seluruh cerita hidupnya, jadi saya tidak akan menghakimi."
Karena pada akhirnya, hidup setiap orang itu rumit. Di balik senyuman seseorang bisa tersimpan penderitaan yang ia sembunyikan. Di balik keputusannya yang tampak "tidak masuk akal" bisa saja ada pertimbangan matang yang tidak kita mengerti.
Jadi sebelum kita memberi cap, sebelum kita merasa paling tahu dan paling benar, lebih baik kita bertanya pada diri sendiri:
"Apa aku benar-benar tahu apa yang dia alami?"
Jika jawabannya tidak, maka tugas kita bukan menilai---melainkan menahan diri....
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI