Mohon tunggu...
Yasintus Ariman
Yasintus Ariman Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu ingin berbagi

Aktif di dua Blog Pribadi: gurukatolik.my.id dan recehan.my.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Siapakah Sesamaku Manusia?

24 Agustus 2019   10:46 Diperbarui: 24 Agustus 2019   10:53 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ribut karena sentimen agama, budaya, suku, ras serta kelompok sosial dan ormas bukanlah hal yang asing terjadi di negeri ini. Kita masih saja terjebak atau mungkin saja cenderung menjebakan diri ke dalamnya dan senang menyaksikan kekaosan yang ada. 

Ini mungkin tergolong aneh ketika disandingkan dengan usia kemerdekaan yang sudah tergolong dewasa, menjunjung tinggi pancasila sebagai jati diri bangsa, insan beragama dengan budaya yang bernilai luhur, mulia.

Pertanyaan yang senantiasa mengusik nurani adalah mengapa kita gampang terperosok untuk memprovokasi dan terprovokasi oleh isu-isu proimordial ini? 

Seakan kita ingin kembali pada adagium lama bahwa manusia adalah srigala bagi manusia lainnya. Dan, kita tidak sanggup lagi menampilkan diri sebagai manusia seutuhnya.

Ya, nyatanya memang demikian. Kita harus jujur dengan diri kita sendiri jika keberagaman masih menjadi ancaman serius bagi keharmonisan dan kedamaian bersama. Lantas apakah keberagaman itu harus kita hindari dengan "mendesak" untuk menciptakan masyarakat yang homogen? 

Kita semua tahu Indonesia itu beribu-ribu pulau. Itu berarti beribu karakter budaya, etnis, ras serta agama yang dianut. Haruskah itu dilihat sebagai ancaman. Tentu saja tidak. Sebab, dalam masyarakat yang homogen sekalipun, benih-benih konflik dan perpecahan selalu datang menghampiri.

"Tidak ada manusia yang sempurna." Itu betul. Tetapi, itu bukan berarti kita bebas melakukan kesalahan atau tidak perlu merasa bersalah jika memang telah melakukan kesalahan.  

Kesadaran sebagai manusia yang tidak sempurna mestinya mendorong kita untuk berusaha melakukan hal yang benar. Bukan ke-benar-an yang tertutup untuk kepentingan diri agar bebas melecehkan pihak lain, melainkan ke-benar-an yang terbuka bagi banyak orang. 

Ke-benar-an yang terbuka bagi banyak orang adalah ke-benar-an yang merangkul perbedaan dan bukannya melenyapkan dengan cara menjelek-jelekannya, apalagi mengubahnya menjadi seragam. 

Hemat saya, hal inilah yang seharusnya senantiasa disadari oleh setiap tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemerintahan untuk tidak menyampaikan pernyataan yang hanya mengedepankan ke-benar-an versinya sendiri tanpa menyadari keberadaan pihak lain yang memiliki konsep ke-benar-an yang berbeda.

Semua orang menyayangkan peristiwa kerusuhan di tanah Papua. Sejatinya kita tidak boleh melihatnya sebagai peristiwa yang biasa-biasa saja. Sentimen kedaerahan serta kesukuan menjadi faktor pencetusnya. 

Ini fakta yang tidak bisa diremekan. Sebab situasi inilah yang bakal dipakai oleh kelompok separatis untuk mendapat dukungan luas dari masyarakat Papua.

Semua pihak tentu tahu tentang keadaan alam Papua dengan suku serta bahasa yang beraneka ragam. Pendekatan kesejahteraan ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia serta otonomi khusus, sepertinya belum cukup ampuh mengubah rasa etnisitas orang Papua untuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI). 

Pendekatan kekerasan hanya akan menimbulkan bencana kemanusiaan dan konsekwensinya akan lebih parah. Karena itu, dibutuhkan pendekatan yang lebih humanis dan berkelanjutan sampai masyarakat Papua merasa sebagai orang Papua yang adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari Indonesia.

 Ini tentu bukan pekerjaan gampang, semudah saya berceloteh lewat artikel sederhana ini. Namun bukan berarti tidak bisa dilakukan. Agar hal ini bisa tercapai, hemat saya peran para tokoh masyarakat, tokoh agama, budayawan serta pihak-pihak terkait dengan pemerintahan sangat penting untuk dikedepankan.  

Pesan-pesan kedamaian dan kesejukan mestinya lantang disuarakan. Pesan-pesan itu haruslah dalam nuansa kekeluargaan yang tinggi, yakni melihat orang lain atau sesama sebagai saudara dan saudari, sebagai kakak dan adik, sebagai bapak dan mama, sebagai om dan tanta/bibi, sebagai opa dan oma. Suasana kekeluargaan seperti inilah yang membuat kita bersatu dalam kemajemukan.

Karena sesungguhnya: "...kendati keaneka-ragaman pribadi, kebudayaan dan bangsa, semua manusia adalah benar-benar saudara dan saudari" (KGK 361). Jika semua pihak menyadari hal ini, niscaya ucapan-ucapan yang menimbulkan ketersinggungan serta ketersinggungan yang seharusnya tidak perlu, bisa diredam atau bahkan tidak terjadi. 

Sikap mengakui kesalahan dan semangat memaafkan akan terasa menyejukan karena kita semua bersaudara yang tinggal dalam satu rumah besar dan mewah yang bernama Indonesia. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun