Mohon tunggu...
Yaqub Walker
Yaqub Walker Mohon Tunggu... Petualang -

Seorang petualang alam dan pemikir yang kadang mencoba menulis sesuatu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Komunisme dan Islamisme

8 Agustus 2017   11:06 Diperbarui: 8 Agustus 2017   14:41 2075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: http://www.re-tawon.com

Kemudian mengutip buku "Dalam Bayang-Bayang Lenin" karya Franz Magnis-Suseno, Friedrich Engels melengkapkan materialisme historis Karl Marx dengan pandangan dunia materialis: realitas pada dasarnya bersifat materi atau merupakan perkembangan dari materi. Materi itu selalu dalam keadaan bergerak yang berlangsung menurut hukum dialektika. Dialektika berarti bahwa materi secara hakiki bergerak dalam kontradiksi-kontradiksi yang merupakan mesin pengembangannya. Melalui loncatan "dialektis", suatu perubahan "kuantitatif" materi bisa menjadi "kualitatif". Bertolak dari pandangan materialis itu, Engels membagi seluruh filsafat menjadi dua kubu: "idealisme" dan "materialisme". Idealisme mendahulukan idea terhadap materi, sedangkan materialisme mendahulukan materi. Idealisme menyatakan bahwa pengetahuan manusia menciptakan apa yang dimengerti; materialisme menyatakan bahwa pengetahuan manusia benar sejauh mencerminkan apa yang memang nyata-nyata ada.

Mengikuti Friedrich Engels, Tan Malaka membagi para filosof ke dalam dua kubu, yakni kubu idealisme dan kubu materialisme. Kubu pertama menganggap idea sebagai sesuatu yang datang terlebih dahulu, yang kemudian akan memunculkan materi. Sedangkan kubu kedua menganggap materi sebagai realitas pertama dan idea sebagai realitas yang berasal dari materi. Dengan demikian, bagi Tan Malaka, kaum idealis belum lepas betul dari logika mistika. Sebaliknya, para filosof materialis, karena mendahulukan materi dan alam indrawi, telah semakin meninggalkan filsafat dan menggantikannya dengan ilmu pengetahuan yang langsung menyelidiki realitas indrawi. Pandangan Tan Malaka itu bersumber pada "materialisme historis" dan "materialisme dialektis", dua pokok filsafat Marxisme-Leninisme. Dari materialisme historis Karl Marx, Tan Malaka memperoleh keyakinan baru bahwa dalam sosialisme, ilmu pengetahuan dapat berkembang tanpa hambatan. Sejarah manusia jangan dipandang sebagai buatan "ide absolut", melainkan dijelaskan secara ilmiah menurut "hukum materialisme historis". Dalam upaya untuk mengajar bangsa Indonesia cara berpikir yang benar, Tan Malaka mengandalkan materialisme dialektis yang dicetuskan oleh Friedrich Engels, kawan karib Karl Marx, karena dalam materialisme dialektis, Tan Malaka menemukan cara pandang dunia yang tepat untuk menggantikan logika gaib.

Bagaimana, terlihat kompleks bukan? Pastinya, jika hanya dibandingkan dengan pendapat sebagian orang yang mengidentikkan komunis dengan ateis. Asvi Marwan Adam, sejarahwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia berpendapat, "Dalam alam sejarah yang diajarkan semasa Orde Baru, Peristiwa Madiun 19 September 1948 merupakan pemberontakan PKI disertai dengan pembantaian terhadap Kiai. Hai ini memunculkan radikalisme yang terus meningkat ibarat perlombaan mobil di lereng gunung yang makin lama makin menyempit. Suatu saat roda yang berputar itu bersinggungan, bergesekan dan bertubrukan, maka timbul percikan api yang membakar. Masalah ini akan lebih jelas bila dilacak secara multidisiplin, yaitu dari aspek sosial-politik, ekonomi, dan budaya. Pada Desember 1954, Masyumi menyatakan bahwa 'komunisme itu identik dengan ateisme'. Keluarnya fatwa ini bisa dilihat dalam konteks persaingan antara Masyumi dan PKI dalam menghadapi Pemilu 1955. Benih kebencian itu perlu dihilangkan dengan mengkaji sejarah secara jernih. Buku pelajaran sejarah perlu ditulis secara cerdas dengan perspektif baru."

Agar memudahkan kita dalam memahami komunisme, sebaiknya diawali dari latar belakang berdirinya paham tersebut. Komunisme adalah sebuah antitesis yang menentang kapitalisme dan imperialisme. Salah satu ciri utama dari komunisme ini ialah penolakan terhadap "hak milik", karena dari sanalah lahirnya para kapitalis (pemilik modal) yang secara semena-mena menggunakan tenaga kaum buruh (proletar) dengan upah yang tidak sebanding. Sehingga, tujuan mereka untuk menghapus hak milik adalah dengan menasionalisasikannya, dengan syarat Partai Komunis sebagai pemeran utama dalam menjalankan pemerintahan tersebut. Oleh sebab itu, mereka sangat bernafsu menduduki kekuasaan-kekuasaan politik. Adapun dalam perkembangannya, komunisme sedikit menyesuaikan diri agar tetap bertahan menghadapi gempuran paham-paham lain.

Pada Agustus 1935, Georgi Dimitrov, Sekretaris Jenderal Komintern (Komunis Internasional) yang baru, mengajukan taktik baru bagi gerakan komunis dalam menghadapi "kebangkitan fasisme". Garis Dimitrov menghendaki sebuah front persatuan yang luas dalam melawan kebangkitan fasisme. Sebagai konsekuensinya, garis Dimitrov ini membolehkan---bahkan mengharuskan---kaum komunis bekerjasama dengan partai-partai dan pemerintahan borjuis dalam kerangka melawan fasisme. Namun, setelah Amerika mulai membendung laju Komunis Eropa lewat Marshall Plan, Uni Soviet mengubah kebijakannya: bergeser ke garis keras. Garis ini mengadopsi pemikiran Andrei Alexandrovich Zhdanov, Petinggi Partai Komunis Soviet yang dekat dengan Joseph Stalin. Perubahan haluan ini dideklarasikan oleh Communist Information Bureau (Cominform) pada September 1947, dan tahun berikutnya disampaikan dalam Konferensi Pemuda se-Asia Tenggara di Calcutta, India. Haluan ini menegaskan, dunia telah terbelah dalam dua blok: Kapitalis Imperialis yang dimotori Amerika Serikat dan blok Anti-Imperialisme yang dimotori Uni Soviet. Inti doktrin Zhdanov, menurut Soe Hok Gie di dalam buku "Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan", ialah pemutusan kerja sama dengan kaum imperialis dan partai-partai komunis harus mengambil langkah garis keras.

Ada juga beberapa perkembangan di luar aliran Marxisme Ortodoks, mengambil dari buku Pemikiran Karl Marx, di antaranya "anarkisme" dan "sindikalisme". Kedua paham tersebut, sebenarnya bukanlah termasuk marxisme, tetapi berkembang dalam komunikasi dan sering dalam konfrontasi dengan marxisme, serta menjadi saingannya dalam merebut hati kaum buruh. Tokoh utama anarkisme adalah Mikhail Bakunin (1814-1876). Anarkisme menolak segala bentuk negara dalam arti lembaga pusat masyarakat dengan wewenang dan kemampuan untuk memaksakan ketaatan terhadap undang-undang. Cita-cita anarkisme adalah anarkhia, keadaan tanpa undang-undang. Anarkisme tidak membedakan antara bentuk kenegaraan yang positif dan negatif. Semua macam negara: republik, monarki, maupun sosialisme dan komunisme pada hakikatnya sama saja, semua mempunyai kekuasaan pemaksa, undang-undang, polisi, mahkamah pengadilan, penjara, angkatan bersenjata, dan sebagainya. Oleh sebab itu, semua bentuk negara adalah buruk dan harus ditolak. Asalkan perekonomian ditata dengan adil, mereka berpendapat, lembaga-lembaga itu tidak perlu lagi. Pembunuhan kepala negara, serangan bom atas gedung-gedung milik negara, dan perbuatan teroris lain dibenarkan oleh anarkisme sebagai cara menggerakan massa untuk memberontak. Bendera kaum anarkis pimpinan Bakunin adalah hitam, berbeda dari bendera merah kaum marxis. Karl Marx (1818-1883) menolak anarkisme dengan tajam. Menurut Marx, tujuan dekat revolusi sosialis bukan masyarakat tanpa negara, melainkan sosialisme negara dalam tangan proletariat---yang kemudian dilaksanakan oleh Lenin, tetapi proletariat digantikan oleh Partai Komunis.

Melanjutkan dari buku yang pertama kali terbit pada 1999 itu, meskipun anarkisme tidak bertahan sebagai gerakan politik, namun ia memengaruhi suatu bentuk sosialisme di beberapa negara Latin, Prancis, dan Spanyol, yang disebut sindikalisme. Sindikalisme merupakan aliran paling radikal gerakan buruh sebelum Perang Dunia I. Ia dapat dianggap sebagai perkawinan silang antara marxisme dan anarkisme. Sindikalisme memakai prinsip-prinsip "aksi langsung": melalui pemboikotan, sabotase, pemberontakan, dan pemogokan umum, ia hendak memasukkan perjuangan kelas langsung ke dalam bidang ekonomi. Sindikalisme, setia pada akar-akarnya yang anarkistis, menolak adanya negara, dan juga tidak menyetujui perjuangan kaum sosialis di dalam parlemen melalui sebuah Partai Buruh. Kalau tujuan jangka pendek marxisme adalah nasionalisasi industri, sindikalisme karena membenci segala bentuk negara, menolak sosialisme negara. Mereka ingin menyerahkan industri kepada serikat-serikat buruh. Sosialisasi alat-alat produksi tidak ditetapkan dari atas oleh negara sosialis, melainkan dari bawah oleh kaum buruh sendiri. Akar dari sindikalisme dipengaruhi oleh Proudhon dan Bakunin, juga pengaruh dari usaha-usaha Robert Owen. Bendera mereka hitam-merah, campuran dari bendera hitam kaum anarkis dan merah kaum marxis. Sindikalisme mengembangkan semangat juang tinggi, menekankan usaha pribadi buruh dan peran elit pejuang. Ia menentang perang dan anti-militaris.

Agar pandangan kita lebih luas mengenai marxisme, akan sangat berguna bagi kita untuk melihat aliran marxisme yang unik berikut ini. Berasal dari sekelompok pemikir marxis yang menetap di Austria dan meskipun masing-masing berpikir ke arah tersendiri, mereka memberikan warna khas kepada marxisme sehingga mereka masuk dalam sejarah sosialisme sebagai "Austomarxisme". Mereka berpegang pada pokok-pokok teori Marx, seperti teori perjuangan kelas, teori nilai, dan materialisme historis, namun mereka tidak menganggap marxisme sebagai sebuah sistem tertutup, dimana dapat berkembang mengikuti nilai-nilai suatu bangsa. Austromarxis juga menolak anggapan bahwa marxisme mengimplikasikan materialisme dan ateisme. Austromarxis bahkan berpendapat bahwa "agama mempunyai fungsi positif dalam hidup masyarakat". Bagi mereka nilai-nilai marxisme adalah universal, marxisme bukan milik eksklusif proletariat melainkan realisasi cita-cita tertinggi manusia. Jadi untuk memahami marxisme, seseorang tidak harus menjadi anggota proletariat, cukup berpikir lurus. Pada austromarxisme, inti sosialisme tidak lain adalah prinsip Immanuel Kant bahwa individu manusia selalu harus diperlakukan sebagai tujuan, bukanlah sebagai sarana. Mereka dengan tegas mempertahankan bahwa kediktatoran proletariat harus berciri demokratis. Karena itu, mereka menolak sistem kekuasaan komunis yang dibangun Lenin di Uni Soviet. Otto Bauer (1881-1938) berpendapat, tak ada pertentangan antara internasionalisme proletar dan keanekaragaman bangsa-bangsa. Bauer mendukung eksistensi negara multibangsa seperti Austria, yang penting dalam kerangka negara-negara yang ada, semua bangsa memperoleh hak untuk mewujudkan kehidupan rohani dan kultural mereka secara bebas. Ia menegaskan bahwa konflik-konflik nasional antara bangsa-bangsa yang hidup dalam satu negara hanya dapat diselesaikan melalui demokrasi.

M. Busyro Muqoddas, Ketua PP Muhammadiyah dan mantan Ketua KPK, bercerita pada acara Indonesia Lawyers Club (ILC), "Ada kasus gerakan-gerakan radikal yang mengusung cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia (NII), waktu itu HTI belum masuk, belum ada HTI. Itu bersarang di kampus-kampus di antaranya di Jogja. Nah, orang-orang ini datang dari Jakarta. Dan kemudian mereka melakukan provokasi-provokasi kepada mahasiswa-mahasiswa, lalu mahasiswa ditangkapi oleh tentara kala itu. Saya dan sejumlah teman advokat mendampingi para mahasiswa yang ditangkap itu. Saya tutup kasus masa lalu itu dengan kasus 'Komando Jihad' yang rapi, yang sistemik, terstruktur, masif. Berlangsung 1976-1983, yang dilatarbelakangi dengan membuat isu 'komunis mau bangkit lagi' dari Vietnam lewat Borneo (Kalimantan). Untuk melawan kebangkitan komunisme itu, ada operasi intelijen, disebut-sebut nama Letjen Ali Moertopo. Lalu mendekati mantan tokoh-tokoh Darul Islam dan NII kala itu, diajak bisnis. Kemudian dibuat suatu skenario, ini untuk melawan komunisme perlu dibentuk Komando Jihad."

Terbukti dari beberapa penjelasan di atas, isu kebangkitan PKI yang ramai dibicarakan itu hanyalah taktik dan intrik untuk merebut kekuasaan belaka. Strategi politik lama dari Orde Baru, ternyata masih ampuh mempengaruhi masyarakat awam masa kini. Padahal pada saat Gus Dur berkuasa, beliau pernah mengusulkan untuk mencabut Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Harus diakui, hal tersebut penuh kontroversi. Komunisme adalah gerakan radikal dan sangat haus akan kekuasaan. Namun perlu diakui juga bahwa para keluarga tertuduh anggota PKI diperlakukan lebih kejam dibanding para pelaku terorisme di dalam negeri. Kita boleh saja tidak setuju dengan aksi ataupun gerakannya, tetapi jangan sampai memperlakukan banyak manusia dengan tidak semestinya.

"And do not pursue that of which you have no knowledge. Indeed, the hearing, the sight and the heart - about all those (one) will be questioned. And do not walk upon the earth exultantly. Indeed, you will never tear the earth (apart), and you will never reach the mountains in height."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun