Mohon tunggu...
Yani Nur Syamsu
Yani Nur Syamsu Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Biografometrik Nusantara

Main ketoprak adalah salah satu cita-cita saya yang belum kesampaian

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pembakaran Bendera HTI: Muslim Concretis dan Muslim Intuitive

30 Oktober 2018   13:58 Diperbarui: 30 Oktober 2018   14:13 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Heboh akibat pembakaran bendera pada acara Hari Santri Nasional oleh beberapa oknum anggota Banser di Garut mungkin masih akan berlanjut. Situasi politik menjelang pilpres diyakini sebagai latar belakang utama mengapa kasus ini akan terus diupayakan up to date. 

Kentara sekali bahwa ada pihak-pihak yang "mengarahkan" bahwa capres nomor urut satu berada di belakang atau paling tidak "memihak" kepada para pelaku pembakaran. Karena ini akan menjadi corroborative evident  dengan narasi narasi terdahulu bahwa Jokowi anti islam dan suka mengkriminalisasi ulama.  Kasus ini sangat mirip dengan kasus Ahok. 

Seseorang mengunggah satu tayangan yang sebenarnya masih sangat-sangat debatable, kemudian tokoh tokoh (muslim) yang kebetulan mempunyai banyak pengikut menyampaikan pendapatnya tentang permasalahan tersebut dengan emosi, jamaahnyapun  ikut tersulut kemarahannya kemudian diselenggarakanlah aksi bela Islam. 

Kita tahu dampak yang luar biasa dari kengototan ini. Kita berharap kasus pembakaran bendera ini tidak berujung seperti kasus Ahok. Seseorang dipersalahkan dengan dakwaan telah melakukan tindak pidana yang masih sangat khilafiah.

Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk membenarkan tindakan beberapa pemuda Anshor yang telah membakar bendera HTI yang memang terdapat cetakan kalimah sahadat. Yang akan dipaparkan adalah mengapa sebagian muslim mengutuk bahkan ada yang berniat membakar para pembakar yang jelas-jelas seagama dan seiman  dan disisi lain tidak sedikit juga umat Islam yang bisa memahami tindakan membakar bendera HTI itu. Pemahaman ini berangkat dari keyakinan bahwa ada peristiwa peristiwa lain yang melatar belakangi mengapa anak-anak muda itu kebablasen dalam mengekpresikan diri.

Secara umum, menurut para psikolog, manusia mempunyai kecenderungan untuk mengorganisir lingkungannya menurut struktur kognitif yang sangat sederhana. Lebih dari itu, manusia, sejak kecil, nampak mempunyai kebutuhan akan "cognitive closure", mereka hanya ingin jawaban pasti untuk hal hal tertentu dan menentang keras adanya ambiguitas. (Lawa dalam Mirza, 2002).M

enurut ahli teori kepribadian Jungian, terdapat dua tipe dasar manusia, yaitu tipe concrete dan tipe intuitive. Orang orang concrete "prefer a concrete way of perceiving the world, .....perhaps simple and possibly simplistic, and strongly solution oriented," dengan demikian orang orang type kongkrit ini cenderung melihat suatu permasalahan dengan  "what is". 

Sementara orang orang intuitive cenderung lebih suka mengekplorasi perasaan atau instingnya, serta ide-ide baru, lebih imaginative, problem oriented serta subjective. Oleh karenanya kelompok intuitive ini dalam kesehariannya  lebih suka mengajukan pertanyaan "what could be".(Ronald Johnson, 2004).

Orang-orang, termasuk muslim, yang bertype concretis relative kurang dilengkapi secara kognitif untuk menyelesaikan atau menghadapi "sejumlah pilihan". Ketika berkaitan dengan masalah agama dan emosi personal, orang-orang semacam ini cenderung melihatnya dalam peristilahan yang sangat keras. Mereka menyukai hal hal yang riel, nyata, "hitam putih" dan ekplisit. Bagi orang-orang ini, siapa saja yang tidak beragama islam berarti kafir karena di Al Qur'an ada ayat ayat yang berbunyi "Wahai orang-orang kafir", mereka tidak mau menerima pendapat bahwa secara implisit al qur'an menyatakan bahwa kekafiran itu bisa ada di dalam hati  semua manusia baik yang beragama Islam maupun beragama lain. 

Ketika beberapa oknum Banser membakar bendera HTI, kemarahan  muslim konkretis inipun langsung berkobar karena mereka berpikir bahwa bendera itu identik dengan ketauhidan. Mereka ngotot bahwa yang dibakar adalah bendera Rasulullah, meskipun sudah sangat banyak penjelasan dari ulama-ulama yang muktabar bahwa hadits tentang bendera Rasulullah adalah dhaif. Jadi bagaimana sebenarnya bentuk bendera Rasulullah itu belum jelas benar, mengingat bendera pemerintahan bani Umayyah dan bani Abbasiyah juga berbeda-beda. Yang jelas seandainya anda mengibarkan bendera HTI itu di Saudi Arabia, di Mesir atau di Yordania maka hampir bisa dipastikan anda akan ditangkap oleh pihak berwajib. Apakah anda akan mengatakan bahwa orang-orang Arab Saudi, Mesir dan Yordania adalah anti tauhid ?!

Sementara muslim intuitive melihat persoalan secara lebih komprehensif.  Peristiwa pembakaran bendera HTI di Garut terjadi karena adanya penyusup dalam acara hari Santri Nasional yang sebelumnya sudah disepakati bahwa hanya merah putih yang boleh berkibar dalam upacara itu. Dan ketika mengetahui ada bendera ormas terlarang, beberapa anggota Banser, yang memang paling kuat perlawanannya terhadap HTI, rupanya terprovokasi dan serta merta membakar bendera "ormas" terlarang itu. Kegeraman terhadap HTI ini mungkin didasari oleh keyakinan bahwa paham HTI yang ingin menegakkan khilafah islamiyah di Indonesia ini  sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kalau diperhatikan tokoh-tokoh muslim Indonesia yang teramat kuat perlawanannya terhadap Ahok dan terhadap pelaku pembakaran bendera HTI adalah orang-orang yang sama, demikian juga pengikut-pengikutnya. Kecenderungan lain yang diidap oleh kaum kongkrit ini adalah mereka merasa paling tahu dengan apa yang dimaui Tuhan. Dalam kasus Ahok, orang-orang ini meyakini bahwa yang dimaksud dengan auliya dalam QS Al Maidah 51 adalah pemimpin. Oleh karenanya mereka mengharamkan orang islam memilih Ahok sebagai pemimpin/gubernur DKI. Padahal banyak ulama yang mengabarkan bahwa sebagian besar kitab menafsirkan kata auliya sebagai teman dekat/penolong dan hanya Al Qur'an terjemahan Depag RI saja yang mengartikan auliya sebagai pemimpin. Sedangkan menurut muslim intuitive memilih Ahok, begitu juga pembakaran bendera HTI, sama sekali tidak ada kaitannya dengan keislaman dan keimanan.

Peristiwa lain yang menggambarkan betapa signifikannya jumlah muslim konkretis di Republik ini antara lain adalah penyegelan beberapa tempat ibadah yang terus berulang di beberapa tempat, pengusiran warga syiah di sampang Madura, pengusiran warga Ahmadiyah  baik di NTB maupun di jawa barat, kasus ibu Meliana terkait adzan dan berbagai peristiwa intoleran lainnya.

Signifikansi itu juga diperkuat oleh hasil penelitian  Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menyasar 2.273 guru sekolah dasar sampai menengah atas yang beragama Islam. 

Hasil dari survey menyatakan bahwa pemikiran intoleran dimiliki oleh 53,06 % guru.  Sikap intoleran yang selaras dengan sikap konkretis diindikasikan antara lain dengan menolak apabila tetangga non muslim mengadakan kegiatan rohani di lingkungan sekitar, tidak setuju pendirian sekolah atau tempat ibadah yang berbasis agama lain dan tidak nyaman memiliki pengawas atau kepala sekolah yang beragama bukan islam. Jumlah guru yang memiliki pemikiran dan sikap toleran adalah 32,99 % dan yang memiliki sikap sangat toleran kepada non muslim hanya 3,93 %. (Kompas, 16/10/2018).

Terkait dengan pilpres 2019, mengacu kepada berbagai peristiwa politik terbaru saat ini sepertinya tidak terlalu salah jika dinyatakan bahwa mayoritas muslim konkretis cenderung memilih paslon nomor urut 2 sedangkan mayoritas muslim intuitive cenderung memihak kepada paslon nomor urut 1. 

Kita semua berharap bahwa kedua paslon mampu mendidik dan memberi teladan kepada para pendukungnya baik yang muslim (konkretis dan intuitive) maupun yang non muslim untuk lebih mengutamakan kepentingan Negara dibandingkan kepentingan kemenangan merebut kekuasaan. 

Pemilihan presiden adalah peristiwa demokrasi yang akan terus terjadi yang mestinya menjadi momentum untuk memperkuat  keutuhan dan kerukunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Semoga.....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun