Mohon tunggu...
Yana Karyana
Yana Karyana Mohon Tunggu... Aktivis konsen dalam kajian Politik, Pendidikan dan Hukum

Aktif sebagai Dosen dan mengabdi dibeberapa organisasi,Pengurus DPP PK-Tren Indonesia, Ketua Persatuan Guru Nahdlatul Ulama [Pergunu], Ketua MWC NU Jati Uwung/Cibodas, Wakil Sekretaris PCNU Kota Tangerang/Milanisti

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

MBG: Memberi Makan yang Lapar, Bukan Mereka yang Sudah Kenyang

30 September 2025   09:56 Diperbarui: 1 Oktober 2025   07:27 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
MBG diantara idealitas dan realitas, bergizi atau beracun (sumber: proaktifmedia.com)

Setiap program besar selalu menyimpan dua wajah, idealisme yang menjanjikan harapan dan realitas yang kerap menelanjangi kelemahan. Begitu pula dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ia diproyeksikan sebagai mahakarya Presiden Prabowo Subianto dalam memerangi stunting dan menyiapkan generasi emas Indonesia. Namun di balik narasi mulia itu, publik justru disuguhi kenyataan pahit, maraknya kasus keracunan massal akibat konsumsi makanan yang seharusnya menyehatkan. Sebuah ironi yang menimbulkan pertanyaan menggelitik, apakah MBG sedang menjadi korban sabotase politik, atau sekadar cermin dari buruknya tata kelola distribusi pangan kita?

Pada tataran ide, MBG sangat relevan. Bagi masyarakat miskin yang nyaris setiap hari berjuang sekadar untuk makan, program ini hadir sebagai oase, membantu pemenuhan gizi, menopang daya tahan tubuh, sekaligus memperkecil kesenjangan akses pangan. Namun, untuk kelompok menengah ke atas, MBG terasa hambar, bahkan dianggap mubazir. Sebab, mereka sudah mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarga secara mandiri. Di sinilah letak tantangan, program universal kerap gagal membaca perbedaan kebutuhan antar kelas sosial.

Kasus keracunan yang terjadi belakangan setidaknya membuka dua tafsir. Pertama, bisa jadi ini adalah bentuk sabotase terhadap program unggulan presiden yang memiliki bobot politik dan sosial besar. Kedua, ini merupakan alarm peringatan keras bahwa rantai pasok, kualitas bahan pangan, hingga higienitas pengolahan MBG masih jauh dari kata aman. Apapun tafsirnya, publik menuntut jawaban yang meyakinkan sekaligus langkah korektif yang nyata.

Di titik inilah, pemerintah perlu segera melakukan perbaikan mendasar. Pertama, program MBG harus diarahkan terutama bagi kelompok masyarakat ekonomi lemah, terutama di daerah tertinggal, terpencil, dan rawan pangan, sebab di sanalah kebutuhan gizi benar-benar mendesak. Kedua, untuk wilayah perkotaan dengan dominasi masyarakat menengah ke atas, program serupa bisa diganti dengan bentuk lain yang lebih relevan, misalnya subsidi pangan sehat, voucher gizi, atau kampanye pola hidup sehat di sekolah. Ketiga, rantai pasok dan distribusi makanan harus diawasi secara berlapis mulai dari hulu, proses, hingga hilir, dengan sertifikasi penyedia makanan dan audit rutin yang ketat. Keempat, pengelolaan program tidak boleh hanya dimonopoli birokrasi, melainkan harus melibatkan masyarakat sipil, ahli gizi, dan komunitas lokal agar kualitas dan relevansi tetap terjaga. Kelima, pelaksanaan MBG di setiap daerah harus dievaluasi secara berkala dan berbasis data yang transparan, sehingga publik dapat mengawasi manfaat maupun kelemahannya secara terbuka.

Kasus keracunan massal yang mencoreng wajah MBG seharusnya tidak dilihat sebagai kegagalan mutlak, melainkan sebagai peringatan keras bahwa program sebesar ini membutuhkan tata kelola yang jauh lebih disiplin. Jangan sampai niat mulia menyehatkan generasi justru berubah menjadi ancaman kesehatan karena kelalaian distribusi dan lemahnya pengawasan.

Jika pemerintah berani melakukan klasterisasi penerima, menempatkan prioritas pada daerah miskin, tertinggal, dan rawan pangan, serta menghadirkan program alternatif di perkotaan yang lebih relevan, maka MBG akan benar-benar menjadi investasi strategis, bukan sekadar proyek populis.

Kritik publik yang muncul hari ini jangan dihadapi dengan defensif, tetapi dijadikan bahan koreksi konstruktif. Sebab, keberhasilan MBG bukan hanya soal angka stunting yang menurun, tetapi juga tentang apakah negara mampu hadir secara adil, memberi makan mereka yang lapar, tanpa memboroskan anggaran bagi mereka yang sebenarnya sudah kenyang.

Dengan pengawasan yang ketat, transparansi yang jujur, dan diferensiasi program yang tepat, MBG masih bisa menjadi warisan besar pemerintahan ini. Sebuah warisan yang bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga mencerdaskan dan menyehatkan generasi Indonesia masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun