Dua pekan terakhir ini saya mendampingi anak berlatih kaligrafi untuk mewakili sekolah di lomba MAPSI (Mata Pelajaran PAI dan Seni Islami) sekolah dasar tingkat kecamatan. Sebelumnya ada seleksi membuat kaligrafi oleh guru PAI dan pelatih ekstrakurikuler Seni Rupa. Anak saya jadi satu dari dua yang terpilih.
Mulai tahun ini sekolah mencari pelatih khusus kaligrafi demi target lolos ke tingkat kabupaten, syukur-syukur sampai provinsi. Hanya saja, pelatih yang baru ini tidak bisa datang melatih ke sekolah karena beliau sudah punya sanggar kaligrafi. Tiap hari ada sesi belajar pagi dan siang sehingga beliau tidak mungkin meninggalkan sanggar kaligrafinya.
Kendala terbesar ada pada jarak. Sekolah anak saya di Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang dan sanggarnya di Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang. Jaraknya sekitar 18 kilometer dengan waktu tempuh 25-30 menit berkendara.
Jauhnya jarak sekolah ke sanggar membuat guru dengan berat hati minta bantuan orang tua untuk mengantar-jemput anak selama jadwal latihan. Kenapa gak gurunya yang nganter? Yang milih anaknya, kan, sekolah. Lombanya juga mewakili sekolah.
Bisa saja saya menolak permintaan itu, tapi tidak tega. Kalau guru harus bolak-balik Muntilan-Magelang Tengah untuk mengantar jempur, pasti kegiatan belajar-mengajar di sekolah terganggu. Murid lainnya yang tidak latihan untuk MAPSI akan dirugikan dengan ketidakhadiran guru di kelas.
Bukan cuma saya, orang tua yang anaknya terpilih macapat (tembang sastra Jawa) untuk lomba FTBI (Festival Tunas Bahasa Ibu) juga harus mengantar-jemput dari sekolah ke tempat latihan. Kami melakukannya bukan atas paksaan, melainkan kesadaran bahwa anak juga butuh keterlibatan orang tua secara langsung untuk mencapai prestasi terbaiknya, bukan cuma mengandalkan sekolah.
Keterlibatan Orang Tua di Sekolah
Sebelum diberlakukan Kurikulum 2013, kita masih punya pola pikir bahwa pendidikan anak ada di tangan sekolah. Dari calistung (baca-tulis-hitung) sampai mengasah budi pekerti pun jadi urusan sekolah. Alasan klasiknya karena orang tua sudah bayar, jadi sudah tugas guru di sekolah mendidik anak dengan baik dan benar.
Namun, sekarang jamannya sudah beda. Kesadaran bahwa orang tua tidak bisa cuek terhadap pendidikan anak makin luas. Salah satu alasannya karena sebelum mencapai usia sekolah anak berinteraksi dengan keluarganya lebih dulu. Ini berarti penanaman fondasi pendidikan ada di tangan keluarga.
Bila orang tuanya sibuk bekerja, pengasuhan dan penanaman fondasi bisa digantikan oleh kakek-nenek, paman-bibi, atau kerabat lain.
Dicuil dari Kemendikdasmen, pada 2014 Prof. Bujang Rahman dari FKIP Universitas Lampung meneliti 30 SD di Kota Metro, Lampung, dan menemukan bahwa keterlibatan orang tua melalui komite sekolah, paguyuban, komunikasi, dan partisipasi kegiatan, secara signifikan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan murid.
Kartika Yulianti, Ph.D dari Binus University juga melakukan penelitian yang mengacu pada kerangka enam dimensi keterlibatan orang tua dari Joyce L. Epstein. Dalam penelitiannya, Kartika mengeksplorasi peran pemimpin sekolah dan guru dalam meningkatkan keterlibatan orang tua di pendidikan anak-anak.Â