Gig worker mengerjakan tugasnya sesuai briefing dan dapat upah setelah tugas itu selesai. Upah gig worker akan dipotong 15% sampai 25% untuk biaya admin atau komisi platform. Sebagai perbandingan, selagi jadi freelancer saya bisa dapat upah Rp100rb per artikel sepanjang 600 kata.
Namun, kalau jadi gig worker saya cuma bisa pasang harga Rp70rb untuk kemudian dipotong 25% oleh platform untuk biaya admin.
Bisa saja saya memasang harga Rp100rb juga di platform dengan pertimbangan artikel saya SEO-friendly sekaligus enak dibaca, tapi akan kesulitan dapat job. Klien pasti mencari yang lebih murah karena yang penting SEO (search engine optimization) saja supaya cepat terindeks di mesin pencari.
3. Spesialisasi
Gig worker umumnya melakukan pekerjaan dengan skill standar yang bisa dipelajari secara singkat oleh siapa pun, sementara freelancer mengerjakan tugas yang butuh keahlian khusus seperti ghostwriting, copywriting, web design, atau animasi.
4. Usia
Kadang freelancer diminta menunjukkan profil LinkedIn supaya klien tahu pengalaman dan portofolio si pekerja lepas. Dari LinkedIn kita bisa memperkirakan berapa usia freelancer dari riwayat kuliah dan tahun pengalaman kerja. Kalau sekiranya sudah tua, dia amat mungkin disingkirkan dari daftar orang yang akan dipekerjakan.
Di gig economy usia jadi pertimbangan paling buncit karena klien lebih melihat portofolio dan hasil kerja sebelumnya. Berhubung saya narablog (blogger) maka yang dilihat adalah bagaimana saya mengelola blog yang terimplementasi dari skor domain dan page authority, global rank, dan spam score.
Karena itulah gig worker bisa jadi pilihan buat ibu rumah tangga, terutama mantan pekerja kantoran, yang ingin mengasah kembali latar pendidikan dan skill-nya.
Saya sendiri sudah berusia 40 tahun lebih dan masih aktif dapat job dengan menjadi gig worker. Kalau dirata-ratakan dapat 6-7 job menulis per bulan dari platform.
Bayarannya memang jauh lebih kecil dibanding jadi freelancer, tapi rutinnya job datang bisa diandalkan untuk mengisi waktu luang dan tabungan.