Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Istri petani. Tukang ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kala si Difabel Menanggung Hidup si Hijrah

25 Juli 2023   12:26 Diperbarui: 25 Juli 2023   12:31 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari Dreamstime

Mamad tuli sejak usianya 2 bulan. Sejak kecil saya berbincang dengannya menggunakan bahasa isyarat alakadar sebelum dia belajar membaca gerak bibir orang normal.

Mamad mengutarakan kelelahan hatinya jadi tulang punggung. Tulang punggung bagaimana, maksudnya? Ayahnya baru saja pensiun dari airline terbaik di negeri ini dan menghadiahkan rumah dan mobil untuk Mimin dan Momod. Lalu, anak tertuanya yang difabel jadi tulang punggung?

Mamad rupanya rutin memberi subsidi kepada dua adiknya si Mimin dan Momod. Gaji suami Mimin tidak cukup membiayai kehidupan mereka. Pun gaji Momod minim sehingga tiap bulan dia harus disubsidi oleh ayahnya. Money doesn't last long. Uang sang ayah pun habis untuk membiayai keluarga Mimin dan Momod.

Tambahan lagi Mamad bercerita kalau istri di Momod banyak maunya. Sangat wajar awal berumahtangga suami-istri masih hidup menumpang di rumah mertua sebelum beli rumah sendiri. Tapi istri Momod keukeuh tidak mau tinggal serumah dengan mertuanya. Maka dibelikanlah rumah untuik Momod.

Istri Momod tidak suka anak bayinya masuk angin naik motor. Maka dibelikanlah mobil oleh ayah si Momod. Entah karena gaji Momod amat minim atau tidak bisa mengatur pengeluaran, maka sejak dua tahun terakhir hidup Momod dibantu oleh Mamad. 

Setali tiga uang dengan Mimin. Sudah dibelikan rumah oleh ayahnya, tapi Mimin dan suaminya malah menjual rumah itu dan pindah ke rumah kontrakan. Rumah itu jauh dari tempat kerja suami Mimin, makanya mereka ngontrak rumah yang dekat tempat kerja. 


Buat saya ini membagongkan. Orang susah payah nyicil rumah belasan tahun, ini malah dijual dan tinggal di kontrakan.

Sehari-harinya Mamad bekerja di perusahaan ekspedisi juga seperti Momod, tapi beda perusahaan. Sepulangnya kerja pukul 15.00 dia lanjut nge-Grab sampai pukul 00.00. Saat gajian tiba uang Mamad langsung ludes tak bersisa untuk biaya hidup orang tuanya, perawatan neneknya yang sedang home care, dan hidup Mimin dan Momod.

Jangan lupa, Mamad seorang difabel. Adik-adiknya yang normal dan diberi fasilitas oleh orang tua malah seperti jadi parasit. Baik suami Mimin dan si Momod sendiri sama sekali tidak berkeinginan pindah kerja ke tempat yang menawarkan gaji tinggi karena takut melanggar syariah.

Mereka pernah berdagang buku dan madu, entah bagaimana usahanya sekarang berjalan. Yang jelas dari pengakuan Mamad, dia lelah-tapi tidak punya pilihan-terus membantu membiayai hidup keluarga adik-adiknya.

Hijrah dan Keluarga Besar

Sejak menikah dan "hijrah" saya tidak pernah lagi bersapa dan bersua dengan Momod dan Mimin karena mereka ganti-ganti nomor handphone dan tidak pernah konfirmasi. Ketika keluarga yang lain saling bertegur sapa dan bercanda di grup WhatsApp, Mimin dan Momod tidak pernah sekata pun menanggapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun