Bisa saja, sih, kami berwudu tanpa membuka kerudung, lebih seringnya begitu, tapi tetap saja rasa khawatir itu ada.
2. Pakai keset biar tidak terpeleset. Saya beberapa kali menjumpai musala yang tidak ada kesetnya. Yang begini berbahaya, bisa bikin orang kepeleset, terutama anak-anak dan lansia.
Sebaiknya sediakan keset di depan pintu masuk musala. Kalau tidak mau rugi, sediakan kotak amal seperti di masjid yang harus diisi jamaah. Uang itu nanti bisa dipakai untuk beli keset.
3. Pemisah saf laki-laki dan perempuan. Ruangan musala tidak perlu dibagi dua, cukup diberi partisi atau kain untuk membedakan saf (barisan) salat laki-laki dan perempuan.
Dengan begitu secara otomatis laki-laki dan perempuan tahu di bagian mana mereka harus salat. Kalau tidak ada sekat masih banyak laki-laki yang salat di bagian belakang.Â
Bagian belakang biasanya ditempati para perempuan yang menyesuaikan posisi dengan saat salat berjamaah di mana posisi kami memang di saf belakang dari laki-laki.
Jadi musala itu tidak perlu megah, mevvah, apalagi dibangun dari pajak rakyat. Musala sudah jadi kebutuhan maka yang penting bersih juga nyaman bagi para perempuan.
Perempuan Minta Diistimewakan?
Mentang-mentang perempuan terus minta diistimewakan begitu, ya?
Indonesia ini negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Rasanya wajar musala di negara ini dibuat ideal buat semua pemeluk Islam, bukan cuma yang perempuan.Â
Lebih lagi, Islam sangat menghargai dan memuliakan perempuan, sangat wajar kalau keidealan musala mengutamakan kenyamanan perempuan yang ingin auratnya tidak terlihat oleh yang bukan mahramnya.
Bila musala yang belum ideal itu ada di sekolah dan kantor kita mungkin maklum karena tujuan utama mereka membuat gedungnya adalah untuk tempat belajar dan bekerja. Namun, di mal dan tempat wisata, percayalah, membuat musala nyaman dan ideal tidak bakal merugikan pengelola.Â