Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Istri petani. Tukang ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Arisan Vs Buku Pelajaran

8 Agustus 2022   14:07 Diperbarui: 9 Agustus 2022   16:40 1652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gelar akademik memang bukan segalanya, tapi dapat menjadi salah satu tolok ukur pola pikir seseorang (Pexels)

Berapa pun uang yang kita bayar di arisan akan kembali ke dompet karena arisan sama dengan menabung. Kalau buku pelajaran, sudah mahal, anaknya juga belum tentu mau baca. Sayang duitnya.

Begitu kira-kira pemikian orangtua yang merasa berat mengeluarkan Rp100.000 untuk membeli buku pelajaran. Jangankan yang hanya buku pendamping,  buku wajib Tema dan Modul (seperti LKS-Lembar Kerja Siswa) banyak orangtua yang keberatan membelinya.

Untung saja, di sekolah tempat anak-anak saya belajar punya buku Tema yang dibeli dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Buku itulah yang dipinjamkan ke peserta didik yang orangtuanya tidak mampu membeli buku Tema.

Namun, di era lahirnya Generasi Alpha ini susah menentukan bagaimana kriteria orang tidak mampu itu. Dia makan sehari cuma sekali, tapi punya motor matic. Dia tidak punya pekerjaan tetap, tapi ponselnya keluaran terbaru. Penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai) di kantor desa saja semua mengendarai motor. Jalanan sampai macet melebihi banyaknya motor yang datang ke hajatan kawinan warga.

Kurikulum Merdeka

Sejak tahun ajaran 2022/2023 ini, semua tingkatan sekolah di Kabupaten Magelang sudah menggunakan Kurikulum Merdeka. Namun, di SD baru kelas 1 dan 4 saja. Kelas lain masih menggunakan Kurikulum 2013 (K13) dengan penggunaan buku Tema. 

Untuk memperkenalkan Kurikulum Merdeka, sekolah tempat anak-anak saya belajar memberi tambahan buku yang bisa dimiliki peserta didik, yaitu buku pendamping yang kebetulan dari penerbit Erlangga.

Ndilalah, buku Erlangga di kalangan orangtua rupanya dikenal mehong karena memang kualitas cetakan dan isi materinya pun baik. Jadinya, "pemberontakan" pun terjadi. Mereka keberatan karena buku pendamping memberatkan keuangan. Membeli buku Tema saja sudah berat, kata mereka.

Padahal harga buku Tema tingkat SD (8-9 seri) untuk satu tahun harganya cuma Rp200.000-Rp250.000 tergantung di toko mana kita membelinya. 

Menurut kepala sekolah, ada beberapa sales penerbit yang datang menawarkan, tapi hanya buku Erlangga yang dinilai lengkap materinya dengan tampilan yang inovatif.

Buku pendamping itu pun tidak wajib dibeli di sekolah karena sifatnya cuma ingin memberi wawasan selain buku Tema untuk bekal anak belajar.

Karena ramai protes, akhirnya buku pendamping ditiadakan. Di kelas yang mayoritas orangtuanya setuju pun buku pendamping dipangkas jadi hanya untuk dua mata pelajaran saja, dari empat yang direncanakan.

Pada Kurikulum Merdeka, sekolah wajib memperkenalkan dan memfasilitasi peserta didik yang ingin belajar materi tertentu. Misal, si anak kurang tertarik pada seni, tapi ingin lebih banyak belajar matematika. Maka sekolah harus memfasilitas keinginan anak itu dengan memberinya materi dan pengajaran matematika. Oleh Kemdikbudristek yang demikian dinamakan merdeka belajar.

Merdeka Belajar

Di perguruan tinggi, mahasiswa diberi kesempatan selama satu semester untuk tidak menghadiri perkuliahan guna belajar di luar kampus. Mahasiswa pendidikan misalnya, harus difasilitasi bila ingin belajar langsung ke suatu sekolah untuk mempelajari peserta didik dan cara mengajar para guru.

Bahkan bila si mahasiswa ingin kuliah online sembari kuliah di luar kampus terus-terusan, kampus harus memfasilitasinya.

Bukan cuma sekolah dan kampus yang memfasilitasi, orangtua juga harus memfasilitasi kalau anak ingin belajar sesuatu yang tidak ada di sekolah. Kalau cuma mengandalkan sekolah, pendidikan anak tidak akan optimal bahkan bisa pincang. 

Kalau memfasilitasi pembelian buku pendamping saja berat, bagaimana mau memberi pendidikan untuk anak? Ya, kan, anak sudah diajari salim, diikutkan ke pengajian masjid, dan disuruh supaya jangan nakal. Itu, kan, termasuk pendidikan karakter juga, jawab mereka.

Sumber ilustrasi: Canva/yanahaudy
Sumber ilustrasi: Canva/yanahaudy

Arisan

Saya sering menemukan ibu-ibu yang amat bersemangat kalau ada acara makan siang bareng dan selalu berlomba bayar arisan lebih dulu sebelum ditagih. Mereka bahkan amat giat merencanakan kegiatan piknik ke sana ke mari menggunakan uang kas paguyuban kelas.

Namun, ibu-ibu yang sama juga yang paling vokal kalau wali kelas minta sedikit dana kas paguyuban untuk pembelian Modul seharga Rp10.000 per buku. Ibu-ibu yang sama juga yang paling galak kalau diminta urunan untuk komite sekolah dan segala bentuk pembelian buku belajar. 

Iuran komite sekolah yang duitnya akan dipakai untuk membeli fasilitas TIK (teknologi informasi dan komunikasi), membayar pelatih ekskul, atau merenovasi toilet sekolah, bakal dipertanyakan habis-habisan. Akhirnya, ibu-ibu itu hanya bayar separuh dari iuran yang disepakati. 

Padahal dirinya juga yang bakal bangga kalau misal si anak ikut lomba yang latihannya menggunakan fasilitas sekolah, lalu jadi pemenang. 

Kalaupun anaknya tidak ikut lomba, orangtuanya pasti ketiban bangga juga punya anak yang sekolahnya langganan juara dan dikenal punya prestasi akademik.

Kalau hanya mengandalkan BOS, tidak bakal ada prestasi karena sekolah butuh modal untuk melengkapi sarana dan prasananya sebelum menetaskan peserta didik berprestasi.

Mungkin khawatir uang iuran komite dikorupsi pengurusnya? 

Semua pengurus komite sekolah adalah orangtua atau wali peserta didik. Sesama orangtua mestinya lebih mudah saling mengawasi karena tidak ada birokrasi dan prosedur. Tinggal tanya atau minta. Kalau pengurus satu keberatan, minta laporan ke pengurus yang lain.

Kalau semua pengurus keberatan, lapor ke kepala sekolah. Kepala sekolah akan memfasilitasi pergantian pengurus atau meminta laporan keuangan untuk dibagikan ke orangtua. Kalau terbukti ada korupsi dana komite, pengurus yang bersangkutan bisa dilaporkan ke polisi.

Buku dan Investasi Untuk Anak

Kita bandingkan sedikit. Arisan dibayar Rp50.000 per minggu, sedangkan buku pendamping Tema besarnya Rp112.000. Sekilas, bayar arisan memang murah dan tidak merugikan karena dianggap menabung. Namun, membeli buku untuk dipelajari anak akan jadi bekal dan investasi untuknya di masa depan.

Membaca buku, termasuk buku pelajaran, termasuk jenis stimulasi yang lambat diproses otak. Kelambatan itu tidak bikin otak jadi lemot, malahan merangsang sel-sel saraf jadi lebih aktif. 

Melansir kompascom, saat membaca otak bekerja lebih keras dan lebih baik yang memberi kita jeda unik untuk memahami dan mendapat pengetahuan baru. Sebaliknya, saat kita berbicara, menonton film, datau mendengarkan musik, kita tidak mengalami jeda yang sama.

Itulah mengapa anak yang terbiasa membaca buku punya konsentrasi lebih baik daripada yang tidak. Konsentrasi adalah pemusatan perhatian atau pikiran pada suatu hal. Dengan berkonsentrasi sebuah pekerjaan akan selesai lebih cepat dengan hasil yang optimal.

Penyebab Orangtua Enggan Membelikan Buku tapi Semangat di Urusan Non-akademik

1. Faktor pendidikan

Dari sekitar 60 orang yang saya tanya, hanya 20% dari mereka yang belajar ke perguruan tinggi, dan tidak sampai separuh dari 20% itu punya gelar sarjana. 

Gelar akademik memang bukan segalanya, tapi dapat menjadi salah satu tolok ukur pola pikir seseorang. 

Faktor pendidikan orangtua yang tidak kuliah mungkin menyebabkan mereka kurang menomorsatukan juga pendidikan untuk anak, termasuk pentingnya anak punya buku pendamping pelajaran.

2. Kurang piknik

Mereka yang ingin sekali piknik, tapi kurang mampu membiayai sendiri pikniknya merasa bisa ikutan piknik dengan memanfaatkan kegiatan sekolah.

Apalagi piknik bersama geng tentu lebih mengasyikkan. Maka golongan orangtua yang seperti ini lebih memilih menghabiskan uang kas paguyubann kelas untuk piknik daripada membeli buku pelajaran.

3. Ingin jadi bagian kelompok

Buat banyak orang, menjadi bagian dari suatu kelompok dapat menunjukkan eksistensi diri dan merasa diri bagian dari sesuatu yang penting. Orangtua juga begitu.

Menjadi bagian dari kebanyakan orang yang menolak membeli buku daripada arisan, dapat membangkitkan kepercayaan diri karena merasa punya teman.

4. Solidaritas

Kebanyakan para ibu yang sering menjemput anak akan punya ikatan pertemanan dan menjadi bestie. Biasanya bila 1 atau 2 bestie ikut arisan, bestie yang lain bakal ikut untuk memperkuat tali pertemanan antarmereka.

Kalau gak ikut, apa kata bestie, bisa-bisa aku gak punya teman lagi. Begitu kira-kira. Padahal daging ayam saja masih sulit terbeli, tapi demi arisan dibela-belain bayar.

5. Tidak punya duit

Tidak menafikan juga ada kelompok orangtua yang menolak membeli buku pelajaran pendamping karena keuangan mereka yang amat terbatas alias misqueen.

Kalau sudah begitu, apa boleh  buat, mestinya memang dibantu oleh sekolah dengan meminjamkan buku-buku untuk dipakai selama si anak membutuhkan.

***

Bagi sebagian orangtua,  buku pelajaran rupanya belum jadi prioritas dalam membelanjakan uang. Skalanya masih dibawah arisan dan nongkie bersama bestie.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun