Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Istri petani. Tukang ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mimpi Roket Indonesia Menjelajah Angkasa

20 November 2020   17:42 Diperbarui: 21 November 2020   03:36 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi satelit. Foto: lapan.go.id via tribunnews.com

SpaceX, perusahaan milik Elon Musk, bersama NASA telah mengirim empat antariksawan ke ruang angkasa pada 15 November 2020 lalu waktu setempat. 

Para astronaut itu menumpang kapsul Crew Dragon yang diluncurkan dengan roket Falcon 9 milik SpaceX dan mendarat 27 jam kemudian di International Space Station (ISS).

Peluncuran itu hanya satu dari banyak usaha Amerika Serikat mengeksplorasi sekaligus mengkomersilkan penerbangan ke angkasa luar, diikuti Rusia, China, dan Uni Eropa. 

Tidak puas hanya mengirim wisatawan ke orbit, kini negara-negara tersebut sedang mengembangkan teknologi untuk mengirim manusia ke planet Mars.

India, yang merintis teknologi roketnya berbarengan dengan Indonesia pada 1960-an, sudah mengirim satelit pertamanya ke orbit Mars pada 2014, dengan roketnya sendiri. "Jelek-jelek" begitu India sudah punya bandara antariksa sendiri, lho! 

Malaysia juga sudah mengirim warga negaranya ke angkasa luar pada 2006 melalui program Angkasawan.

Indonesia?

Harus diakui, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) merasa berat diongkos bila melakukan penelitian ke Mars. 

Sumber daya manusia banyak tapi sumber keuangan negara terbatas sehingga LAPAN memilih mengamati penelitian yang telah dilakukan lembaga lain di dunia.

Walau belum sampai Mars, sebenarnya Indonesia sudah lebih dulu maju dibanding negara-negara Asia.

Kita punya satu-satunya astronot perempuan pertama di Asia, Pratiwi Sudarmono. Meski batal ke angkasa luar imbas dari meledaknya pesawat Challenger pada 1986, Ibu Pratiwi hanya satu dari sekian bukti bahwa Indonesia sudah sejak lama berkecimpung di dunia antariksa.

Pada 9 Juli 1976 Indonesia meluncurkan satelit Palapa A1 untuk memperkuat dan memperlancar telekomunikasi dan jaringan televisi di seluruh nusantara. 

Mengangkasanya Palapa A1 menjadikan Indonesia sebagai negara ke-3 di dunia yang mengoperasikan Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) setelah Amerika Serikat dan Kanada.

Lalu pada Juli 2016, BRI juga meluncurkan satelit yang diberi nama BRIsat ke orbit. Hal ini menjadikan BRI sebagai bank pertama dan satu-satunya di dunia yang memiliki dan mengoperasikan satelit sendiri. BRIsat kedua rencananya akan diluncurkan pada tahun 2023.

Meski belum berencana meneliti Mars tapi Indonesia tetap meneruskan penelitian dalam bintang perbintangan dan planet-planet di luar tata surya. 

Bila ternyata satu diantara sekian banyak planet itu ternyata tempat tinggal bangsa Klingon mungkin Indonesia bakal diajak bergabung ke Konfederasi. Hemm~.

Demi memperlancar penelitian tersebut maka LAPAN membangun observatorium nasional di kawasan Hutan Lindung Gunung Timau di Kupang, NTT. Jika telah rampung dibangun pada 2021, observatorium Timau akan jadi yang terbesar di Asia Tenggara.

Dahulu kita punya observatorium Bosscha di Lembang, Bandung, tapi keberadaannya terancam karena dikepung polusi cahaya dari kota di dekatnya sehingga mengganggu keberjalanan observasi berbagai objek astronomi. Penelitian di Bosscha menjadi tidak optimal.

Sewaktu kelas tiga sekolah dasar saya ikut wisata sekolah ke Planetarium yang ada di area Taman Ismail Marzuki, Jakpus. 

Saat itu saya terkesima melihat langit kelap-kelip, cerita tentang rasi bintang, dan pengetahuan tentang asal-muasal terbentuknya tata surya. Sampai-sampai saya bercita-cita jadi astronom. Meski sampai kuliah saya masih mengunjungi Planetarium namun cita-cita jadi astronom tidak kesampaian.

Memangnya kenapa, sih, Indonesia harus mengamati bintang dan mengembangkan teknologi ruang angkasa?! Buang-buang duit saja, lebih baik diberikan kepada orang miskin.

Kelak jika observatorium Timau sudah beroperasi, para peneliti dapat melakukan deteksi dan karakterisasi exoplanet. Lalu Indonesia akan mulai untuk mencari kehidupan di planet-planet lain dan mencari tempat yang layak huni bagi manusia selain bumi.

Tapi kalau sudah ketemu alien dan planet layak huni, bagaimana menuju kesana tanpa pesawat berkecepatan warp? Itu, ya, nanti dulu, bikin roket saja masih gagal terus bagaimana mau bikin pesawat warp? Belum ada satu negara maupun mampu membuatnya, apalagi negara kita.

Indonesia memang telah mengembangkan teknologi roket sejak 1960-an saat Presiden Soekarno menerima roket dari Jepang. Namun pengembangan teknologinya mandek. 

Sampai saat ini negara kita masih mengembangkan roket berdasarkan teknologi yang dibuat pada 1960-an. Padahal teknologi roket adalah teknologi utama yang jadi fokus LAPAN sejak berdiri pada 1962.

Angin segar bagi para ilmuwan roket Indonesia bersepoi saat akhir tahun 2019 lalu pemerintah Indonesia berhasil "memaksa" China untuk mengembangkan teknologi roketnya bersama Indonesia. 

Dengan adanya kerjasama itu ilmuwan roket Indonesia bisa membuat roket yang bisa terbang lebih dari 200 kilometer, tidak lagi hanya sampai ketinggian 70 kilometer seperti yang selama ini kita punya.

Mengapa Indonesia perlu punya roket?

Karena Indonesia, seperti negara-negara lain di dunia, punya satelit yang harus terus diluncurkan ke orbit menggantikan satelit lama yang "masa baktinya" sudah habis.

Satelit dibutuhkan bukan hanya untuk pemantauan cuaca saja tapi juga pertanian, mitigasi bencana, sumber daya alam dan lingkungan, komunikasi, dan perbankan, apalagi Indonesia adalah negara kepulauan. Satelit dapat dikatakan sebagai "pemersatu" bangsa.

Pada April lalu satelit Nusantara Dua milik Indosat dan PT Pasifik Satelit Nusantara gagal mencapai orbitnya. Satelit Nusantara Dua ini mestinya menggantikan satelit Palapa D yang memasuki masa purna tugas. 

Ironisnya dahulu satelit Palapa D juga nyaris jatuh saat dibawa oleh roket Long March 3B milik China, namun berhasil diselamatkan dan mencapai orbit.

Ndilalah, Long March 3B ini juga yang membawa Nusantara Dua yang gagal mengorbit lalu jatuh ke atmosfer bumi.

Kenapa pakai roket punya China, kayak gak ada roket lain saja. Karena Indonesia punya kerjasama roket dengan China. Lagipula adanya kegagalan peluncuran satelit bisa dipelajari oleh ilmuwan Indonesia sehingga kelak kalau sudah bisa membuat roket, roket itu akan sempurna.

Jika Indonesia punya roket dan bandar udara antariksanya sendiri, kita tidak perlu menyewa roket dan membayar sewa tempat peluncuran kepada negara lain.

Saat ini Indonesia sudah mempersiapkan pembangunan bandar udara antariksa di Biak, Papua, yang akan beroperasi sepenuhnya pada 2040.

Mungkin teknologi roket akan berkembang pesat andai, andai lho, ada pengusaha tajir yang gila-gilaan mendanai Pusat Teknologi Roket milik LAPAN. Karena mengandalkan APBN tentu mustahil karena banyak yang harus dibiayai, bukan hanya untuk pengembangan teknologi ruang angkasa. Tetapi 

Satu lagi, jika tidak ada halangan, pada Desember 2020 LAPAN akan kembali menerbangkan satelit buatannya, LAPAN A4, untuk memantau illegal fishing dan memetakan kondisi lingkungan pasca bencana.

Bangsa kita keren, kan, daripada ribut soal penggal-penggalan kepala lebih baik berpikir apa yang bisa kita lakukan untuk bangsa ini. Karena ini bangsa kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun