Sedangkan upah untuk pekerja sawah di kecamatan kami ada dikisaran Rp35rb-Rp40rb ditambah makan siang, teh, dan kue atau gorengan untuk cemilan. Jam kerjanya mulai pukul 07.00 sampai adzan Zuhur, kecuali Jumat sampai pukul 11.00.
Upah di sawah tentu tidak bisa disamakan dengan pekerjaan di bangunan dan pabrik karena sawah menghasilkan uang yang lebih sedikit.Â
Ada risiko tinggi gagal panen karena hama, cuaca, atau bencana. Ditambah lagi petani tidak bisa menentukan sendiri harga jual komoditasnya. Kadang dapat harga tinggi, kadang hanya balik modal, kadang rugi.
Menurut saya upah Rp35rb per hari itu cukup kalau hanya untuk makan dibanding menganggur tidak ada pekerjaan. Di lingkungan rukun tetangga kami ada enam pemuda pengangguran usia 22-35 tahun. Diantara pemuda itu ada yang sudah beranak-istri tapi biaya hidupnya masih disokong orang tua.
Alasan mereka enggan bekerja di sawah karena tidak suka bekerja kotor-kotoran. Mereka lebih suka bekerja jadi pelayan toko.Â
Ndilalah pekerjaan di tokopun terbatas dan mereka lebih memilih menganggur daripada bekerja di sawah. Malahan satu dari pengangguran ini anak-istrinya dibiayai oleh ayahnya yang bekerja di sawah suami saya.
Kemudian ada kerabat suami saya yang minta kerja di sawah karena katanya dia malu hidup dari gaji istrinya yang guru TK.
Tapi esoknya dia tidak datang ke sawah. Pada kesempatan yang berbeda ketika suami saya bertemu dengannya, dia bilang kalau mencangkul tidak mau karena pekerjaan itu terlalu berat untuknya. Dia minta jatah menanam bibit atau saat panen saja.Â
However, ketika saatnya tiba dia tidak datang lagi. Begitu berulang-ulang, dia minta kerja di sawah, tidak datang, minta kerja lagi, tidak datang lagi.
Beberapa tahun belakangan kementerian pertanian punya program cetak sawah, terutama di luar pulau Jawa, untuk menggenjot produksi pangan nasional.Â
Hanya saja untuk apa cetak sawah kalau tidak ada yang menggarap? Apakah sawah itu setelah "dicetak" langsung bisa dimakan seperti kue?