Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Di Tangan Ahok; Hanura, PKB dan Nasdem Dibonsai?

29 Maret 2016   12:14 Diperbarui: 29 Maret 2016   13:19 1401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hanura, PKB dan Nasdem tengah berupaya menyedot popularitas Ahok di pilkada DKI Jakarta 2017. Bagi partai-partai yang kurang percaya diri (PD), gelembung kosong pencitraan adalah sesuatu yang perlu. Dan ketiga partai ini, tengah menikmati sensasi itu, mereguk simpati sekelompok orang pada Ahok yang sedang heroik di tengah-tengah publik berakun anonim.

Mereka; virtual army berakun palsu bin anonim loyalis Ahok itu, acap kali mem-bully siapapun yang diametral dengan Ahok. Tanpa memandang, bahwa kritik adalah suatu kondisi antara menuju pencarian kebenaran. Tanpa peduli, nalar kritis adalah metodologi yang halal dalam mencari kebenaran . Merekalah generasi oportunis, penjilat, inlander dan acap kali memilih jalur mainstream, ketimbang di luar mainstream.

Mereka seakan menjadi muda-mudi yang miskin identitas, dan mencari pengukuhan sosial dengan cara-cara yang latah. Mereka lahir untuk memenuhi ciri masyaraat post kolonialisme, memilih menjadi bagian subordinat, dari suatu kepongahan pemilik modal (capitalis) dan kelas sosial mapan yang kini ramai-ramai mengorbitkan diri di politik. Mereka gerombolan anonim itu, acapkali membusung dan memukul-mukul dada anti rasis, tapi bersamaan dengan itu, menjadi pasukan bayaran pemodal, yang luntang-lantung di mall-mall mewah menjadi sales politik untuk politik kelas sosial tertentu.

Mereka sumringah, dengan “sumbangan setengah gratifikasi” bernilai miliaran untuk Ahok, sementara di pelosok Jawa ada orang tiap harinya tragis mengunya nasi aking, dan juga kawasan Timur Indonesia NTT dan NTB, ada sekelompok rakyat yang kerap didera busung lapar.

Mari bertanya pada nuranimu Ahok dan bala tentaramu, siapa yang lebih berhak mendapatkan sumbangan miliaran itu? Apakah engkau Ahok, yang duduk di kursi kebesaran, dengan tulunjukmu yang acap kali kau sasarkan ke layar kamera penuh kediktatoran sebagai simbol keangkuhan? Tanyakan pada hati nurani (Hanura) mu, bahwa siapakah yang secara sosial berhak menerima sumbangan itu? Siapa? Engkau atau rakyat miskin itu?

Membayangkan partai yang memasrahkan eksistensi politiknya di tengah-tengah gerombolan anonim, adalah sesuatu yang anomali. Tiga partai besar, yang lahir dari sejarahnya masing-masing, dibikin kikuk oleh hegemoni virtual sekelompok Ahok fans club berakun palsu. Paling tidak, sikap politik tiga partai itu, sebagai reaksi kekinian, menanggapi fenomena politik Ahok dengan seluruh corak dan tabiat sebagai suatu yang dianggap mainstream dan digandrungi. Demikian pun mulut kotor Ahok yang oleh sekelompok orang sudah begitu permisif. Di luar dari itu dianggap musuh.  

Salah melangkah di bully, dicitrakan rasis, diskriminatif dan pembelahan-pembelahan primordial lainnya yang menyudutkan. Ketakukan itu membuncah, seiring produksi opini oleh media-media mainstream bermodal tambun yang menempatkan Ahok begitu ma’sum alias bersih tanpa dosa. Seakan ada zona hitam-putih di Pilkada DKI 2017. Pendukung Ahok adalah kelompok orang-orang bersih, dan selainnya adalah busuk dan kotor.

Padahal sangat mudah meletakan gerombolan anonim ini dengan suatu identifikasi yang detail tentang corak dan cara mengomunikasikan Ahok ke publik. Mayoritasnya adalah sekelompok orang yang teralienasi dari kehidupan dan pergaulan politik, lalu mengompensasikan keteralienasiannya dengan menempatkan Ahok sebagai segala-gala untuk dirinya. Atau mereka-mereka pendatang baru, yang gagap politik dan memperlihatkan fundamentalisme dukungan politik kepada figur yang taklidkan. Mereka tak bedanya seperti kaum Nabi Nuh, yang menyusun boneka sapi dari potongan roti lalu dianggapnya tuhan (t). Begitulah gambaran Ahok bagi hamba sahayanya.

Saya menganggapnya wajar. Di tengah kondisi masyarakat yang tengah mengalami kekosongan harapan akibat presidennya yang tak mampu memberikan jiwa bagi bangsa ini, masing-masing orang mencari sikap dan membentuk watak berpolitik. Bagi mereka yang getas, sering melahirkan paroki politik, menganggap dirinya adalah kelompok minoritas yang terzalimi, lalu bangkit mengusung perlawanan-perlawanan fundamental terhadap musuh impersonal yang dibikinya sendiri. Disitulah cara mereka menikmati kekosongan jiwa, dan kehilangan harapan politik.   

Lihatlah akun-akun anonim Ahok fans club itu, siapa musuhnya? Dan siapa lawan-lawannya yang rasis dan diskriminatif?  Mereka menciptakan musuh imajiner, lalu dengannya mencoba memantik riak dan simpatik. Kasihan para fans club anonim itu, masih pakai ilmu lama.

Maka saya tak begitu heran, kenapa mereka sampai engap-engap memberhalakan Ahok. Rela kaki di atas, kepala di bawah, asalkan Ahok bebas dari kritik. Apakah kepada mereka-mereka inilah, tiga partai besar  PKB, Hanura dan Nasdem memasrahakan diri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun