Di ruang besar yang dipenuhi jas gelap dari berbagai negara, Zulkifli Hasan berdiri. Posturnya mungkin tak setinggi diplomat Eropa. Gayanya pun bukan tipikal teknokrat yang gemar menyajikan angka-angka panjang. Tapi di forum World Economic Forum (WEF) di New York itu, suaranya jernih, sederhana, tapi penuh pesan. Tentang pangan. Tentang plastik. Tentang hijau.
"Indonesia terus berupaya memperkuat ekosistem investasi yang mendukung ketahanan pangan dan pengurangan limbah plastik," katanya. Kalimat itu sederhana, tapi menyimpan agenda besar.
Ia sedang bicara soal bagaimana negeri kepulauan ini ingin tetap berdiri tegak di tengah gelombang perubahan iklim dan krisis pangan global. Forum itu memang arena kelas dunia. Sustainable Development Investment Mobilization dan Global Plastic Action Partnership, namanya.
Ajang yang biasanya penuh istilah canggih, kadang susah dicerna. Namun Zulhas memilih jalan yang lain: ia bicara dengan bahasa yang bisa dimengerti semua orang tentang nasi, sampah, dan masa depan anak cucu.
Tentu saja dunia mendengarkan. Indonesia bukan lagi sekadar negeri berkembang yang datang meminta bantuan, melainkan negara dengan pasar besar, hutan tropis luas, dan laut yang jadi paru-paru dunia.
Di hadapan para pemodal hijau, Zulhas menjual ide bahwa Indonesia adalah laboratorium paling nyata untuk menguji masa depan. Negara ini punya segalanya: tanah subur, laut luas, populasi besar, tapi juga masalah sampah plastik yang kian menggunung.
Di sinilah narasi investasi hijau masuk. Tahun lalu saja, aliran modal hijau yang masuk ke Indonesia sudah mencapai 1,6 miliar dolar AS, terbesar di Asia Tenggara. Pertumbuhannya sekitar 28 persen dibanding tahun sebelumnya.
Tapi angka itu masih jauh dari kebutuhan. Untuk mencapai target energi terbarukan 23 persen di tahun 2025, Indonesia butuh dana setidaknya 36 miliar dolar. Bahkan lebih luas lagi, hitungan resmi memperkirakan kebutuhan total untuk transisi energi dan mitigasi iklim menembus 154 miliar dolar. Bandingkan jurangnya: apa yang sudah didapat baru setetes air di lautan.
Lalu soal sampah plastik. Angkanya bikin dahi berkerut. Dari total 70 juta ton sampah di Indonesia, sekitar 10 juta ton adalah plastik. Itu berarti lebih dari sepuluh persen dari seluruh timbulan. Ironisnya, tingkat daur ulang plastik kita baru 10 persen.